Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekuat Apa Manusia Menghadapi Masalah?

11 November 2024   11:42 Diperbarui: 11 November 2024   11:58 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seberapa kuat mental manusia menanggungbebani masalah? Kalau memang manusia bermental tangguh, kenapa tak sedikut ditemukan kasus bunuh diri?
Ya, berbagai pertanyaan itu relevan diajukan sampai kapanpun. Terlebih di eranya Generasi Zilenial (Gen Z) yang diterpa isu miring berkaitan kondisi mental health-nya yang lebih rentan dibanding generasi sebelumnya.

Fenomena bunuh diri memang bukan hal baru. Kadang ia menyedot perhatian publik ketika dikaitkan kasus yang menimpa para pesohor, atau sebaliknya, keluarga miskin yang memilih bunuh diri kolektif karena merasa tak sanggup menangguh himpitan ekonomi, dan sejenisnya.

Ketika komedian yang pernah didaulat sebagai "Pria paling lucu di Amerika", Robin William ditemukan tewas bunuh diri pada 2014, atau Kurt Cobain yang juga bunuh diri di 1994 di tengah popularitasnya yang memuncak, publik mungkin berpikir, can money buy happiness?

Tetapi di belahan bumi lain, ditemukan satu keluarga di Brebes, di Bandung, yang nekat bunuh diri bareng karena himpitan ekonomi yang luar biasa. Dalam kasus semacam ini, biasanya sebagian orang akan berkata, ke mana negara, ke mana tetangganya, dan sebagainya.

Ya, bunuh diri mungkin menjadi kasus yang kompleks. Menjadi lebih rumit, karena angkanya juga tak kecil.

PBB mencatat, dalam setiap 40 detik ada satu orang yang bunuh diri di dunia. Pun bunuh diri tak hanya populer di masyarakat Barat, belakangan juga meningkat risikonya di Asia Timur, terutama Korea Selatan.

I Baca juga: Tetap Berdaya di Usia Senja

Dalam khasanah Sosiologi, bunuh diri bukanlah cerita kasuistik, melainkan sebuah fenomena dan fakta sosial yang bisa dianalisis polanya secara imiah.

Emile Durkheim misalnya, menemukan fakta menarik dari fenomena bunuh diri yang banyak ditemui di Eropa Barat di masa revolusi industri sekitar abad 19. Bahwa kasus bunuh diri ternyata lebih banyak dijumpai pada penganut Protestan ketimbang Katolik.

Penyebabnya, ternyata di kalangan penganut Katolik mekanisme solidaritas sosial masih lebih terawat dibanding umat Protestan yang lebih individualis, dan disebut Weber telah melahirkan Kapitalisme lewat apa yang disebutnya Protestan Ethic pada Sekte Calvinis.  

Menariknya, agama memandang bunuh diri sebagai sebuah dosa besar. Tidak hanya di Islam, melainkan juga Katolik. Dalam pandangan Islam, bunuh diri menjadi terlarang karena konsep berputus harapan (hopeless) memang tidak diperkenankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun