Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuhan, Bolehkan Aku Me-request Mimpi?

13 November 2022   17:27 Diperbarui: 13 November 2022   17:29 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: viu.com

Tahu-tahu tangan kita sudah saling bergandeng erat. Menyusuri pematang sawah bertanah liat. Entah siapa yang memulai, nyatanya tak ada tanda-tanda untuk salig melepas genggaman yang spontan ini. Mungkin kita saling menikmati, saling menyamankan. Bukan saja genggamannya, tapi pula suasananya yang syahdu. Sementara kaki kita melangkah pelan, menikmati petak demi petak dengan kecambah yang menghijau. Sementara kabut tipis dan embun seolah dikirimkan Tuhan untuk menyejuk-pandangkan batinku dan mungkin batinmu. Sungguh, suasana yang sempurna.

Mungkin aku terhanyut oleh suasana, melihat senyummu yang tak pernah putus, spontan kucondongkan wajah ini ke kiri bawah, menuju keningmu, sebuah kecupan kudaratkan sambil terus berjalan menikmati keindahan tanpa kata. Beruntung, senyummu tak menyusut, meski sempat sedikit kau pejamkan mata. Tak sampai hitungan menit, kau mengangkat tanganku dan lantas mengecupnya dengan lembut penuh hayat. Mendadak efek kecupanmu menjalar ke jantung yang seper sekian detik berkonstraksi, lalu sejurus berikutnya mengirimkan energi hangat yang menyelimuti tubuhku. Entah denganmu, karena langkah pelan kita masih saja nirkata. Tetapi aku hanya mengintip mimik wajahmu yang berseri-seri sepanjang jalan.

Entahlah, aku bahkan tidak berupaya mengenali latar peristiwa, tidak tempatnya dan tidak pula waktunya. Seluruh fikiranku hanya khuyuk masyuk menikmati suasana. Bukakah ini adalah kebersamaan yang sejak lama aku rindukan? Bahkan meski tanpa sepatah katapun terucap. Mungkin inilah gambaran sesungguhnya dari konsep speechless, ketika kata-kata kehabisan daya untuk melukiskan rasa.

Kita sudah berada di tengah areal persawahan yang hijau. Sebuah hamparan yang luas, tepi awal dan tepi akhir semakin samar. Seketika kita menengok ke belakang, mencoba mengenang kembali jalan setapak yang baru saja kita lalui. Dan sialnya, adegan kecil dan singkat ini ternyata justru menyudahi semuanya.

***

Ini adalah mimpiku ke sekian tentang Sari. Perempuanku dari masa lalu. Kita pernah menjalin hubungan, meski seumur kilat. Pun tanpa status yang jelas, meski aku dan dia mungkin saling mencintai. Ketika akhirnya aku meninggalkannya untuk menikahi perempuanku, tentu saja dia menahan kesakitan dan mungkin kemarahan yang teramat. Tetapi tanpa dia tahu, aku pun sebetulnya menanggungbebankan rasa sakit yang sama. Bedanya, aku dihantui rasa bersalah berkepanjangan.

Semalam adalah mimpi pertama dari sekian mimpiku tentang Sari. Bedanya, inilah mimpi yang telah lama kurindukan, bahkan sering aku request sebelum tidur. "Ya Tuhan, cukuplah dengan Engkau hadirkan ia dalam mimpiku". Begitulah cara aku merawat rindu, seperti ini pula caraku mengobati lara dari feeling guilty menahun.

Sebelumnya, meski beberapa kali ia hadir dalam mimpiku, isinya melulu menyesakkan. Adegannya selalu sama, mata kita beradu pandang, wajahnya menunjukkan ekspresi marah, lantas tetiba menghindar dan menghilang. Aku yakin, gambaran mimpi ini terkait dengan kehidupan nyataku yang dibebani perasaan bersalah atas masa lalu. Kubilang, ini seperti konsep mimpi yang dijelaskan para pakar psikoanalisis, apa yang tak sanggup kau jangkau di alam nyata, bisa saja terluapkan di alam mimpi. Karena masalah ini pula, kita pernah berdebat lantaran aku meminta dikirimi fotomu. Menurutku, menyimpan fotomu yang riil adalah caraku mengakhiri mimpi buruk tentangmu. Tapi kau bergeming dengan penolakanamu yang dipenuhi keheranan. "Apa hubungannya mimpi-mimpimu dengan fotoku? Lagian cuma mimpi, tidak lebih dari bunga tidur kan? Untuk apa kau seriusi?"

Semalam, kau bereperan amat apik an epic dalam mimpiku. Kau menjelma seperti Sari sekian tahun lalu. Dan aku tentu saja amat bahagia. Bahkan sampai seseore ini. Sepertinya hormon dopamin masih mengaliri daraku dengan lancar.

***

Sebuah notifikasi pesan masuk. Namamu muncul di layar, dan mood-ku langsung memburuk. Kenapa dia masih saja nekat berkomunikasi, bukankah setahun lalu kau memilih mengakhiri interaksi kita? Kenapa mendadak kau tarik ludahmu sendiri. Aku kesal dan marah, tetapi tetap saja rasa ingin tahuku mengusik. Dari tampilan notifikasi pesanmu, aku jadi tahu, ini pasti link tulisanmu di kompasiana.

Setelah setengah jam, akhirnya kubuka juga pesanmu. Sengaja kujeda, takut saja kalau kamu jadi gede rasa. Sebuah link tulisan berjudul "Request Mimpiku Dibayar Lunas"

Tak menunggu waktu lama, tulisanmu sudah kulumat. Dan entah kenapa, dadaku ikut berkonstraksi saat membacanya, dan saat tulisan berakhir, reflek pula kuhembuskan nafas panjang. Kenapa tulisanmu tetap terasa berat saat kubaca. Apakah ini hanya pengalamanku karena merasa menjadi bagian dari isi cerita, ataukah tulisanmu sukses meluapkan rasa marah, sedih, kangen, dan gembira yang campur aduk? Agh, sudahlah. "Tuhan, bolehkah pula aku me-request mimpi?". []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun