"Orang NU disuruh bikin universitas rapi seperti Muhammadiyah, sulit Pak... Tapi orang Muhammadiyah suruh ngurusi orang macul yang sehari-hari nggak ngerti apa-apa, sehingga dia musyrik menjadi muslim, nggak sabar juga Pak. Nah, bertemunya ini banyak yang tidak suka. Oleh karenanya, maka wawasan keagamaan, wawasan keumatan, wawasan kebangsaan dan kenegaraan tidak boleh dirobek oleh kepentingan apapun juga."
Kutipan di atas adalah pidato KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua PBNU, di hadapan peserta Reuni Akbar Alumni dalam rangka Peringatan 90 Tahun PM Gontor.
Isi pidatonya sebetulnya mengupas banyak isu/tema besar keumatan dan kebangsaan, tetapi seperti menjadi ciri kiai NU, disampaikan dengan banyak tamsil, pasemon, yang penuh jenaka. Hasilnya adalah materi berat yang tersampaikan dengan renyah. Dan bagi saya inilah khasanah khas NU yang masih dan perlu terus dirawat sampai kini dan nanti. Dan Kiai Hasyim Muzadi punya nilai plus karena wawasannya yang memang dikenal luas.
Sementara di Muhammadiyah, khazanah guyonan semacam ini mungkin kurang populer. Bahkan ada kesan serius untuk para tokoh-tokohnya. Kalaupun ada, ini mungkin jadi anomali di Muhammadiyah, dan sejauh ini saya hanya menemukan sosok seperti AR Facrudin, Ketua PP paling lama dalam sejarah Muhammadiyah, 1968-1990. Yang kedua adalah Sekjen PP Muhammadiyah saat ini, Prof Abdul Mu'ti.
Karena kaya dengan guyon-guyon cerdas, secara kelakar Mu'ti bahkan sering disebut sebagai Sekjen yang tertukar, ia dianggap lebih cocok jadi Sekjen PBNU. Karena ndilalah, Sekjen PBNU yang seangkatan dengannya (2015-2020), Helmy Faishal Zaini dianggap kalah lucu dari Mu'ti. Bahkan belum lama ini Prof Mu'ti merilis buku spesialnya "Guyun Maton: Lucu Bermutu ala Muhammadiyah". Lengkap sudah.
Substansi yang disampaikan Hasyim Muzadi memang ada benarnya, meski dalam perkembangannya saat ini mungkin tak lagi beda mutlak.
Dulu, NU sering dianggap kurang berbakat mendirikan dan mengelola perguruan tinggi serta rumah sakit. Alasannya karena kultur NU dianggap kurang familiar dengan manajemen modern. Bahkan ada anekdot, manajemen orang NU adalah manajemen lillahi taala, karena yang penting saling percaya.
Sementara Muhammadiyah yang sejak awal mengadopsi semangat kemodernan, ia tak canggung dengan manajemen modern. Karena sejak awal Kiai Ahmad Dahlan sendiri mulang ngaji dengan sistem bangku dan kursi, sesuatu yang asing bagi lembaga NU yang lekat dengan metode sorogan.
Tapi ada benarnya juga bahwa Muhammadiyah yang lahir di perkotaan (Kauman, Yogyakarta), lebih lekat dengan karakter masyarakat urban yang terbuka dan kosmopolit, sehingga kurang sabaran untuk menggarap masyarakat pedesaan.
Saat NU-Muhammadiyah Beririsan
Saya selalu merasa beruntung pernah merasakan didikan ala NU yang kaya khazanah dan sentuhan Muhammadiyah yang visioner. Uniknya, nilai-nilai dari dua ormas Islam terbesar di tanah air ini sama-samaa tersosialisasikan dari sosok-sosok yang dekat denganku; Paman Syakuro (adik Ibuku) atau karib dipanggil Man Ung yang santri NU tulen dan Mbah Surip (adik Neneku) yang Muhammadiyah.
Man Ung mungkin hanya jebolan kelas 2 SD, tetapi ia sempat mondok di beberapa pesantren di Jawa Timur. Profesinya adalah pedagang yang sering pergi ke luar kota, sehingga pikirannya relatif terbuka. Sementara Mbah Surip adalah mantan Mantri Perhutani yang cukup well educated.
Saya merasakan pendidikan intensif dari keduanya sejak kecil sampai naik kelas enam SD, kisaran pertengahan 1980 an sampai pertengahan 1990 an, karena setelahnya harus merantau dari Tegal ke Bogor.
Dari Man Ung saya banyak belajar tentang adab dan tasawuf dan tentu saja fiqih ibadah. Cara dia beribadah dan bermuamalah adalah tipikal NU yang lekat dengan prinsip kehati-hatian (ikhtiyat), terutama menyangkut adab. Dan sejak kecil saya sudah sering diperdengarkan atau kadang diajak ngobrok soal tema-tema seperti taqwa, zuhud, wara', dan sekawannya yang mengambil rujukan dari kitab klasik ataupun hasil ceramah para kiai.
Sementara Mbah Surip memberikan banyak pelajaran soal semangat menempuh pendidikan untuk memutus rantai kemiskinan, hingga motivasi-motivasi tentang pentingnya bercita-cita.
Salah satu pelajaran penting dicontohkan Mbah Surip adalah tradisi literasi, terutama minat bacanya yang tinggi; baik baca koran, buku, hingga kitab gundul ala NU. Setiap mengunjungi rumah tua yang kutempati, dia tak pernah lepas dari kebiasaannya membaca di ruang tamu. Sebuah kebiasaan yang asing untuk masyarakat kampung kami yang berpendidikan rendah.
Kedua orang yang sama-sama kuhormati ini juga sama-sama saling menanamkan pengaruhnya, khazanah keilmuan klasik NU dan pikiran tentang masa depan dari Muhammadiyah.
Oleh Paman, sejak kecil aku sering digadang-gadang untuk menjadi penerus generasi santri, yang kelak mengenyam pendidikan pondok pesantren.
Sementara Mbah Surip sering mendorongku untuk sekolah setinggi mungkin sampai Sarjana. Maklum, di kampung kami kala itu, sebagian besar hanyalah lulusan SD.Â
Bahkan banyak yang Drop Out, yang penting bisa baca tulis, setelahnya bekerja membantu orang tua. Tetapi ketika di tahun 1994 aku harus pindah ke Bogor karena terpilih dalam program anak angkat di Pondok Yatamasakin Bogor, keduanya justru saling berlomba berkontribusi. Mbahku yang memfasilitasi, dan Man Ung yang banyak membantu membiayai.
Meski cita-citanya untuk mengirimkanku ke pesantren salaf kandas, tetapi ia tetap amat supportif: "Wes, nawaitune nuntut ilmu, ben aja dadi wong bodo. (Sudah, diniatkan mencari ilmu biar tidak jadi orang bodoh)."
Mungkin inilah salah satu wujud keterbukaan dari Man Ung yang NU, atau bisa jadi karena irisan tradisi dengan Muhammadiyah dari Mbah Surip. Sebab, di era itu, pendidikan umum belumlah populer bagi warga nahdliyin, kalaupun melanjutkan belajar selepas SD, mereka akan memilih mengirimkan anak-anaknya ke pesantren. Dan orang-orang seperti Man Ung adalah sosok pejuang, yang banyak menghabiskan masa mudanya untuk mengajar ngaji anak-anak kampung, dari baca Alquran sampai fiqih ibadah.
Disebut pejuang karena dulu kampung kami bukanlah basis santri, bahkan status ustadz seperti Man Ung masih sering di-bully, dinyinyiri. "Bener Ung, nanti kalau sudah besar kamu ngajar ngaji aja, kan lumayan tiap Kamis dapat uang uang kemisan. Lumayan kena go nempur beras." Begitu salah satu nyinyiran yang masih dikenang Mang Ung saat masih kecil dan sering diceritakan ulang untukku.
Ketika akhirnya dewasa, Man Ung memang mengajar ngaji di kampung. Tetapi alih-alih menarik uang kemisan seperti umumnya kiai/ustadz saat itu, dia tidak melakukannya. Bahkan, ia justru sering membagikan jajan untuk para muridnya, sebuah tradisi yang tak umum.
Mungkin begitulah cara dia menjawab nyinyiran para tetangganya dulu. Dan kelak, Mang Ung pula yang membiayaiku untuk kuliah. Sementara anak-anaknya sendiri, tidak hanya mondok di sejumlah pesantren, tetapi juga sebagian besar mengantongi ijazah Sarjana.
Apa yang bisa disimpulkan dari perjuangan hidup Man Ung yang NU tulen ini adalah soal keberdayaan. Kalau dulu kiai dan ustaz NU sering diidentikkan dengan profesi guru ngaji, guru madrasah, pemimpin talqin dan tahlil, kini gambaran itu nyaris menguap. Tahun 2000 an awal, NU bahkan seperti panen sarjana, SDM-nya pun melimpah sampai kini.
Maka, menjadi santri tidak cukup hanya berbekal keilmuan agama, tetapi sebisa mungkin juga memiliki wawasan luas dan kompetensi umum, terlebih di era disrupsi yang serba tak pasti saat ini.
Dan saya menduga, pilihan Man Ung untuk menguliahkan anak-anaknya, termasuk juga saya, sedikitnya karena ada irisan dengan tradisi Muhammadiyah dari Mbah Surip yang memang amat getol mendorong keluarganya untuk sekolah setinggi mungkin. Pendidikan adalah salah satu jalan terampuh untuk untuk meningkatkan keberdayaan, pendorong mobilitas vertikal, dan pemutus mata rantai kemiskinan dan keterbelakangan.
Selamat Hari Santri Nasional Tahun 2022. Santri Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H