Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

NU, Muhammadiyah, dan Santri yang Berdaya

22 Oktober 2022   14:19 Diperbarui: 23 Oktober 2022   16:45 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Orang NU disuruh bikin universitas rapi seperti Muhammadiyah, sulit Pak... Tapi orang Muhammadiyah suruh ngurusi orang macul yang sehari-hari nggak ngerti apa-apa, sehingga dia musyrik menjadi muslim, nggak sabar juga Pak. Nah, bertemunya ini banyak yang tidak suka. Oleh karenanya, maka wawasan keagamaan, wawasan keumatan, wawasan kebangsaan dan kenegaraan tidak boleh dirobek oleh kepentingan apapun juga."

Kutipan di atas adalah pidato KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua PBNU, di hadapan peserta Reuni Akbar Alumni dalam rangka Peringatan 90 Tahun PM Gontor.

Isi pidatonya sebetulnya mengupas banyak isu/tema besar keumatan dan kebangsaan, tetapi seperti menjadi ciri kiai NU, disampaikan dengan banyak tamsil, pasemon, yang penuh jenaka. Hasilnya adalah materi berat yang tersampaikan dengan renyah. Dan bagi saya inilah khasanah khas NU yang masih dan perlu terus dirawat sampai kini dan nanti. Dan Kiai Hasyim Muzadi punya nilai plus karena wawasannya yang memang dikenal luas.

Sementara di Muhammadiyah, khazanah guyonan semacam ini mungkin kurang populer. Bahkan ada kesan serius untuk para tokoh-tokohnya. Kalaupun ada, ini mungkin jadi anomali di Muhammadiyah, dan sejauh ini saya hanya menemukan sosok seperti AR Facrudin, Ketua PP paling lama dalam sejarah Muhammadiyah, 1968-1990. Yang kedua adalah Sekjen PP Muhammadiyah saat ini, Prof Abdul Mu'ti.

Karena kaya dengan guyon-guyon cerdas, secara kelakar Mu'ti bahkan sering disebut sebagai Sekjen yang tertukar, ia dianggap lebih cocok jadi Sekjen PBNU. Karena ndilalah, Sekjen PBNU yang seangkatan dengannya (2015-2020), Helmy Faishal Zaini dianggap kalah lucu dari Mu'ti. Bahkan belum lama ini Prof Mu'ti merilis buku spesialnya "Guyun Maton: Lucu Bermutu ala Muhammadiyah". Lengkap sudah.

Substansi yang disampaikan Hasyim Muzadi memang ada benarnya, meski dalam perkembangannya saat ini mungkin tak lagi beda mutlak.

Dulu, NU sering dianggap kurang berbakat mendirikan dan mengelola perguruan tinggi serta rumah sakit. Alasannya karena kultur NU dianggap kurang familiar dengan manajemen modern. Bahkan ada anekdot, manajemen orang NU adalah manajemen lillahi taala, karena yang penting saling percaya.

Sementara Muhammadiyah yang sejak awal mengadopsi semangat kemodernan, ia tak canggung dengan manajemen modern. Karena sejak awal Kiai Ahmad Dahlan sendiri mulang ngaji dengan sistem bangku dan kursi, sesuatu yang asing bagi lembaga NU yang lekat dengan metode sorogan.

Tapi ada benarnya juga bahwa Muhammadiyah yang lahir di perkotaan (Kauman, Yogyakarta), lebih lekat dengan karakter masyarakat urban yang terbuka dan kosmopolit, sehingga kurang sabaran untuk menggarap masyarakat pedesaan.

Sumber gambar: kompas.com
Sumber gambar: kompas.com

Saat NU-Muhammadiyah Beririsan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun