Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

NU, Muhammadiyah, dan Santri yang Berdaya

22 Oktober 2022   14:19 Diperbarui: 23 Oktober 2022   16:45 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kompas.com

Mungkin inilah salah satu wujud keterbukaan dari Man Ung yang NU, atau bisa jadi karena irisan tradisi dengan Muhammadiyah dari Mbah Surip. Sebab, di era itu, pendidikan umum belumlah populer bagi warga nahdliyin, kalaupun melanjutkan belajar selepas SD, mereka akan memilih mengirimkan anak-anaknya ke pesantren. Dan orang-orang seperti Man Ung adalah sosok pejuang, yang banyak menghabiskan masa mudanya untuk mengajar ngaji anak-anak kampung, dari baca Alquran sampai fiqih ibadah.

Disebut pejuang karena dulu kampung kami bukanlah basis santri, bahkan status ustadz seperti Man Ung masih sering di-bully, dinyinyiri. "Bener Ung, nanti kalau sudah besar kamu ngajar ngaji aja, kan lumayan tiap Kamis dapat uang uang kemisan. Lumayan kena go nempur beras." Begitu salah satu nyinyiran yang masih dikenang Mang Ung saat masih kecil dan sering diceritakan ulang untukku.

Ketika akhirnya dewasa, Man Ung memang mengajar ngaji di kampung. Tetapi alih-alih menarik uang kemisan seperti umumnya kiai/ustadz saat itu, dia tidak melakukannya. Bahkan, ia justru sering membagikan jajan untuk para muridnya, sebuah tradisi yang tak umum.

Mungkin begitulah cara dia menjawab nyinyiran para tetangganya dulu. Dan kelak, Mang Ung pula yang membiayaiku untuk kuliah. Sementara anak-anaknya sendiri, tidak hanya mondok di sejumlah pesantren, tetapi juga sebagian besar mengantongi ijazah Sarjana.

Apa yang bisa disimpulkan dari perjuangan hidup Man Ung yang NU tulen ini adalah soal keberdayaan. Kalau dulu kiai dan ustaz NU sering diidentikkan dengan profesi guru ngaji, guru madrasah, pemimpin talqin dan tahlil, kini gambaran itu nyaris menguap. Tahun 2000 an awal, NU bahkan seperti panen sarjana, SDM-nya pun melimpah sampai kini.

Maka, menjadi santri tidak cukup hanya berbekal keilmuan agama, tetapi sebisa mungkin juga memiliki wawasan luas dan kompetensi umum, terlebih di era disrupsi yang serba tak pasti saat ini.

Dan saya menduga, pilihan Man Ung untuk menguliahkan anak-anaknya, termasuk juga saya, sedikitnya karena ada irisan dengan tradisi Muhammadiyah dari Mbah Surip yang memang amat getol mendorong keluarganya untuk sekolah setinggi mungkin. Pendidikan adalah salah satu jalan terampuh untuk untuk meningkatkan keberdayaan, pendorong mobilitas vertikal, dan pemutus mata rantai kemiskinan dan keterbelakangan.

Selamat Hari Santri Nasional Tahun 2022. Santri Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun