Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

NU, Muhammadiyah, dan Santri yang Berdaya

22 Oktober 2022   14:19 Diperbarui: 23 Oktober 2022   16:45 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kompas.com

Saya selalu merasa beruntung pernah merasakan didikan ala NU yang kaya khazanah dan sentuhan Muhammadiyah yang visioner. Uniknya, nilai-nilai dari dua ormas Islam terbesar di tanah air ini sama-samaa tersosialisasikan dari sosok-sosok yang dekat denganku; Paman Syakuro (adik Ibuku) atau karib dipanggil Man Ung yang santri NU tulen dan Mbah Surip (adik Neneku) yang Muhammadiyah.

Man Ung mungkin hanya jebolan kelas 2 SD, tetapi ia sempat mondok di beberapa pesantren di Jawa Timur. Profesinya adalah pedagang yang sering pergi ke luar kota, sehingga pikirannya relatif terbuka. Sementara Mbah Surip adalah mantan Mantri Perhutani yang cukup well educated.

Saya merasakan pendidikan intensif dari keduanya sejak kecil sampai naik kelas enam SD, kisaran pertengahan 1980 an sampai pertengahan 1990 an, karena setelahnya harus merantau dari Tegal ke Bogor.

Dari Man Ung saya banyak belajar tentang adab dan tasawuf dan tentu saja fiqih ibadah. Cara dia beribadah dan bermuamalah adalah tipikal NU yang lekat dengan prinsip kehati-hatian (ikhtiyat), terutama menyangkut adab. Dan sejak kecil saya sudah sering diperdengarkan atau kadang diajak ngobrok soal tema-tema seperti taqwa, zuhud, wara', dan sekawannya yang mengambil rujukan dari kitab klasik ataupun hasil ceramah para kiai.

Sementara Mbah Surip memberikan banyak pelajaran soal semangat menempuh pendidikan untuk memutus rantai kemiskinan, hingga motivasi-motivasi tentang pentingnya bercita-cita.

Salah satu pelajaran penting dicontohkan Mbah Surip adalah tradisi literasi, terutama minat bacanya yang tinggi; baik baca koran, buku, hingga kitab gundul ala NU. Setiap mengunjungi rumah tua yang kutempati, dia tak pernah lepas dari kebiasaannya membaca di ruang tamu. Sebuah kebiasaan yang asing untuk masyarakat kampung kami yang berpendidikan rendah.

Kedua orang yang sama-sama kuhormati ini juga sama-sama saling menanamkan pengaruhnya, khazanah keilmuan klasik NU dan pikiran tentang masa depan dari Muhammadiyah.

Oleh Paman, sejak kecil aku sering digadang-gadang untuk menjadi penerus generasi santri, yang kelak mengenyam pendidikan pondok pesantren.

Sementara Mbah Surip sering mendorongku untuk sekolah setinggi mungkin sampai Sarjana. Maklum, di kampung kami kala itu, sebagian besar hanyalah lulusan SD. 

Bahkan banyak yang Drop Out, yang penting bisa baca tulis, setelahnya bekerja membantu orang tua. Tetapi ketika di tahun 1994 aku harus pindah ke Bogor karena terpilih dalam program anak angkat di Pondok Yatamasakin Bogor, keduanya justru saling berlomba berkontribusi. Mbahku yang memfasilitasi, dan Man Ung yang banyak membantu membiayai.

Meski cita-citanya untuk mengirimkanku ke pesantren salaf kandas, tetapi ia tetap amat supportif: "Wes, nawaitune nuntut ilmu, ben aja dadi wong bodo. (Sudah, diniatkan mencari ilmu biar tidak jadi orang bodoh)."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun