Hari Raya Idul Adha disebut dalam sebuah hadits sebagai hari yang agung, meski dalam praktiknya mungkin tak dirayakan semeriah Idul Fitri. Paling tidak dalam kultur keberagamaan kita di Indonesia. Namun hal itu tak serta merta mengurangi sisi tingginya makna Idul Adha dalam Islam. Paling tidak, anjuran untuk mengundangkan takbir, tahmid dan tahlil pada Idul Adha ini lebih panjang waktunya jika dibandingkan dengan Idul Fitri, yakni sejak petang tanggal 9 Dzulhijjah, tanggal 10 Dzulhijjah plus tentu saja Hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).
 Dalam sebuah hadits, keagungan Idul Adha dikarenakan dua momentum. Pertama An-Nahr atau penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah dan Hari Tasyrik. Kedua, karena ada Al-Qarr (menetap), karena pada 11 Dzulhijjah jutaan umat Muslim yang menjalankan rangkaian ibadah haji tengah bermlam dan menetap di Mina melantunkan nama Allah. Karena itulah sebagai hari raya Idul Adha dinilai lebih besar dari Idul Fithri, sehingga dikenal juga dengan sebutan Idul Akbar.
Namun di luar apa yang disebutkan hadits, keistimewaan Idul Adha juga amat terkait dengan sejarah penting risalah agama-agama besar dunia, yakni Yahudi, Nasrani dan Islam. Dan semua ini pada akhirnya merujuk pada apa yang diwariskan Nabi Ibrahim As, sosok yang tidak hanya diimani para Muslim, namun juga popular bagi penganut Yahudi dan Nasrani. Dalam studi sejarah agama, ketiga agama besar ini  menemukan titik temunya pada ajaran Ibrahim.
Dalam kaitan dengan Idul Adha ini, warisan Ibrahim sangatlah kental, karena banyak ajaran dan kisah hidupnya yang dilembagakan oleh Allah sehingga tetap abadi sampai saat ini, era umat Muhammad Saw. Sebut saja ibadah kurban, lalu Baitullah yang dibangun Ibrahim dan Ismail, hingga ritual ibadah haji yang sebagian besar adalah warisan Nabi Ibrahim. Â Karen Amstrong, seorang peneliti agama-agama yang secara khusus pernah meneliti dan menuliskan buku tentang sejarah tiga agama besar dunia (Yahudi, Kristen dan Islam) dalam konteks pencariannya tentang Tuhan, pun memberikan kesimpulan yang kurang lebih sama, bahwa pijakan utama dari ketiga agama ini tidak bisa tidak untuk dikaitkan dengan Ibrahim (Abraham). Seperti halnya dalam Islam, Ibrahim pun mendapatkan kedudukan yang agung pada Yahudi dan Kristen. Dalam sejarah, ketiga agama ini digambarkan sebagai penganut monoteisme dengan Ibrahim menjadi akar dan figur utamanya, meskipun diakui sendiri oleh Karen bahwa ketiganya tetap memiliki persepsi yang tidak selalu sama dalam konsep Tuhan Yang Esa.
Secara khusus bagi pemeluk Islam, nilai dan ajaran Ibrahim As terasa lebih kuat dan kokoh karena diabadikan oleh Allah dalam syariat Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir. Karena itu, risalah Nabi Ibrahim menjadi amat monumental.
"Dan kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian"Â (Qs. As-Saffat: 108)
Lalu dalam kaitan dengan Idul Adha, apa saja monumen-monumen yang telah diwariskan Ibrahim untuk umat manusia? Setidaknya ada tiga monumen penting yang secara esensi bukan hanya vital, tetapi juga tetap relevan dengan kondisi zaman mutakhir ini. Hal ini juga ditegaskan dalam Alquran;
Pertama, sebagaimana telah disinggung di awal, tentu sosok Ibrahim tidak bisa dilepaskan dari prinsip dan nilai tauhid (Keesaan Tuhan). Â Hebatnya, nilai tauhid ini bukanlaah sesuatu yang jatuh dari langit, Ibrahim muda juga tidaklah menerima begitu saja apa yang menjadi cara bertuhan masyaraakatnya (taken for granted). Lebih dari itu, tauhid adalah benar-benar hasil pencarian dan penelitian serius Ibrahim untuk menemukan Tuhan. Dalam Alquran, proses ini setidaknya merujuk pada dua drama besar yang dialami Ibrahim, yakni saat dia nekat menghancurkan patung-patung yang diyakini masyarakatnya sebagai tuhan. Aksinya pun dibayar mahal dengan hukuman bakar dari sang raja.
Berikutnya adalah proses observasi Ibrahim terhadap semesta, ia mencari sesuatu yang dianggap besar dan layak menyandang kedudukan sebagai Tuhan. Dia amati bintang, bulan, dan matahari, tiga benda langit yang memenuhi hipotesa awalnya tentang Tuhan. Tetapi semua benda langit yang di masa itu juga dipercaya memiliki kekuatan gaib, pada akhirnya dieliminasi dari daftar potensinya menjadi Tuhan. Karena bintang, bulan dan matahari ternyata bergantung pada waktu, timbul dan tenggelam. Kisah ini dilukiskan dalam QS: Al-An'am: 76-78.
Dari dua drama tersebut, Ibrahim sebetulnya telah melakukan proses yang di abad modern dikenal dengan metode fasilifikasi atau uji kesalahan, lawan dari uji kebenaran (verifikasi). Dalam falsifikasi, hal-hal yang mendekati kesalahan harus disingkirkan dari potensi kebenaran itu sendiri. Ibarat kita menyortir barang hasil produksi, yang afkir singkirkan dulu. Dan hasil dari pencarian dan penelitian Ibrahim adalah seperti yang disebut dalam ayat selanjutnya, Al-An'am: 79:
"Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."
Prinsip tauhid ini menjadi monumental karena diletakkan sebagai pondasi utama ajaran para nabi dan rasul dan terkonsepkan secara sempurna pada kenabian Muhammas Saw. Bahkan Ibrahim dikenal dengan sebutan The father of monotheism.
Kedua, adalah Islam. Bahwa dari proses pencariannya atas Tuhan Yang Esa itu, Ibrahim akhirnya mendapatkan kesimpulan bahwa bintang, bulan, matahari, dan bahkan alam semesta ini ternyata hanya tunduk patuh pada hukum Tuhan, itulah milah Ibrahim, itulah Islam dalam makna generiknya, yakni sikap tunduk dan patuh pada hukum Tuhan, sebagaimana matahari yang terbit dan tenggelam, apel yang jatuh ke bawah.
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah (aslim) !" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh (aslamtu) kepada Tuhan semesta alam". (Al-Baqarah: 131)
Sikap berislam ini dibuktikan secara sempurna ketika Ibrahim menjalankan dua titah yang amat berat, yakni menyembelih Ismail, anaknya yang kelahirannya telah dinanti berpuluh tahun, serta perintah meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih di bayi di padang pasir nan tandus, Mekah tempo dulu. Dua peristiwa itu diabadikan menjadi ibadah kurban, ritual sa'i dalam haji, dan lainnya. Ajaran ini menjadi monumen karena pada era kenabian terakhir dilembagakan menjadi Agama Islam.
Sikap bertauhid dan berislam ini pula Ibrahim menyandang predikat al-hanif, orang yang hatinya dicondongkan pada kebenaran dan kebaikan.
Ketiga, Ibrahim juga mewariskan satu pondasi penting tentang nilai pendidikan keluarga. Sebagai lembaga sosial, keluarga harus didesain untuk melahirkan generasi unggul.
"Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh". (QS. As-Saffat: 100)
Doa masyhur ini pun dikabulkan. Dari Rahim Hajar lahirlah Ismail, dari Rahim Sarah lahir Ishaq, dari keduanya lahir generasi nabi dan rasul. Ada Ya'kub dan Isa dari jalur Ishaq, dan ada Muhammad Saw dari keturunan Ismail.
Dari keluarga Ibrahim pula kita bisa memetik pelajaraan berharga tentang konsep yang hari ini kita kenal sebagai parenting. Simaklah dialog Ibrahim dan Ismail sebelum proses penyembelihan, sebuah dialog seorang ayah dan anak yang sangat berkualitas.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. Ash-Saffat: 102)
Betapa bijaksananya Ibrahim As, meski seorang nabi dan rasul, yang menerima perintah langsung dari Allah, tetapi sebagai seorang Ayah dia tetap menanyakan pendapat Ismail, meski usianya masih kanak-kanak. Tetapi lihatlah, kebijaksanaan seorang Ayah melahirkan sikap anak yang sabar, bahkan terhadap ujian yang amat berat. Karena kepatuhan ini (berislam) serta kebijaksanaan dan sabar inilah, Allah memberikan reward berupa kambing untuk menggantikan Ismail. Dan drama ini diabadikan sampai saat ini menjadi ibadah kurban.
Maka abadilah apa yang diajarkan Ibrahim, menjadi monument yang melembaga hingga umat akhir zaman.
Sebagai wujud penghormatan, di setiap duduk takhiyat akhir dalam shalat, kita tidak hanya dituntunkan untuk bershalat kepada Muhammad Saw, melainkan juga Ibrahim As dan keluarganya.
Kama shallaita ala Ibrahim, wa'ala 'ali Ibrahim. []
___________
Kota Batik, 16072021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H