Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memimpikan Idul Fitri Tanpa Pandemi, Mungkinkah?

10 April 2020   08:02 Diperbarui: 10 April 2020   11:48 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DUA pekan lalu, sekitar akhir Maret, saya ingin sekali membuat tulisan dengan judul kurang lebih; “Membayangkan Ramadhan Tanpa Pandemi Covid-19”. Kenapa? Pertama, sebagai Muslim saya tidak atau belum bisa membayangkan bagaimana menikmati suasana ramadhan di tengah wabah virus corona. Sama sekali tak siap membayangkan bagaimana sebulan puasa tanpa hiruk pikuknya shalat tarawih, ramainya jamaah subuh, hingga nikmatnya ngabuburit sore hari, berburu takjil sambil menunggu waktu berbuka. Sedih dan miris membayangkan bahwa nanti, Bulan Suci Ramadhan 1441 H, akan dilalui dalam suasana amat lengang.

Kedua, oleh perkembangan kasus Covid-19 hari per hari yang grafiknya masih terus menanjak cepat, kekhawatiran itu serasa makin mendekati kenyataan. Maka keinginan menuliskan tersebut di atas kian menggebu. Seperti menemukan alasan mulia untuk menuliskannya. “Ayo berpikir positif, optimis, pandemi Coronavirus Desease 2019 ini akan berakhir sebelum ramadhan,” kurang lebih begitulah suasana batinku. Toh konon, pikiran yang baik, kata-kata yang baik, akan membangunkan kenyataan.

Sayangnya, kesempatan menuliskannya tak kunjung datang. Kalaupun ada kesempatan, mood tengah hengkang. Sampai akhirnya, dua hari terakhir, muncul kampanye hoaks yang cukup viral di media sosial. Pesan itu mengajak masyarakat Indonesia berhenti total beraktivitas di luar selama tiga hari, 10-12 April 2020. Alasannya, virus tidak bisa dipindahkan. JIka dalam 24 jam tidak dipindah, virus mati sendiri.

Maksud kampanye gerakan stay at home selama tiga hari itu tentu sangat baik, berangkat dari kesadaran untuk menghindari interaksi sosial, physical distancing sebagai cara menghambat penularan Covid-19. Namun di balik hoaksnya isi pesan tersebut, justru tersirat bagaimana besarnya kecemasan publik, sedikit frustasi mungkin, sehingga mudah menerima anjuran, himbauan, kampanye yang sebetulnya kurang bisa diterima akal sehat. Bukankah para ahli sendiri menyebut masa inkubasi virus corona itu sampai 14 hari?

Nah, karena kampanye hoaks itu pula, saya memilih realistis –untuk tak menyebutnya pesimis- bahwa rmadhan yang tinggal hitungan hari ini akan terbebas dari corona. Tetapi seperti tulisan saya sebelumnya, optimisme tentu harus dibangun. Pun bukan optimisme pasif, berdiam diri sambil menunggu pemerintah atau pihak lain berikhtiar menghalau Covid-19. Saya menyebutnya optimisme aktif, di mana setiap kita yang optimis mengikhtiarkan perwujudannya.

Pertama-tama, saya perbaharui optimisme ini menjadi lebih realistis dan logis tentunya. Targetnya seperti terangkum dalam judul, yakni membayangkan (baca: mengharapkan) idul fitri tanpa pandemi Covid-19. Apakah mungkin? Bagaimana caranya?

Jawaban klisenya, tidak ada hil yang mustahal. Tidak ada yang tidak mungkin. Kenapa masih realistis dan logis, ya karena rentang waktu tersisa masih memungkinkan bagi kita semua untuk mewujudkan impian ini. Kuncinya terutama ada di pundak umat Islam. Ini saatnya umat yang merasa mayoritas melakukan gerakan sosial masif melawan Covid-19. Dan momentumnya adalah saat Bulan Suci Ramadhan. Selama satu bulan nanti, umat Islam di Indonesia memiliki kesempatan emas untuk melumpuhkan persebaran virus corona.  

Caranya? Tidak ada protokol khusus yang benar-benar baru. Cukup selama sebulan puasa nanti, umat Islam menjalankan apa yang selama ini dianjurkan pemerintah dan para ahli: stay at home. Tak terkecuali menyangkut aktivitas ibadah ramadhan yang berkeramaian, seperti shalawat tarawih hingga shalat rawatib sementara diganti dengan jamaah di rumah. Toh, dari MUI, PBNU sampai PP Muhammadiyah juga sudah memaklumatkannya. Bahkan jika perkembagan Covid-19 belum juga terkendali, shalat idul fitri dianjurkan untuk ditiadakan. Semua itu semata-mata demi menghindari kemudaharatan yang lebih besar. Seperti sebuah kaidah masyhur dalam ushul fiqh, bahwa menghindari kemudharatan itu harus didahulukan dari mengundang kebaikan.  

Ya, kunci utamanya adalah tetap tinggal di rumah. Tidak keluar kecuali untuk hal-hal yang penting, seperti membeli logistik untuk sahur dan berbuka. Toh aktivitas ini bisa dilakukan tiga hari sekali. Pun kalau terpaksa keluar dari rumah, semua protokol pencegahan harus benar-benar dijalankan; menggunakan masker, tidak salaman, jaga jarak, dan cuci tangan sebelum masuk rumah.

“Ya itu mah gampang untuk orang-orang kaya yang uangnya banyak. Bagaimana dengan orang miskin yang harus bekerja agar bisa makan hari ini? Bagaimana orang-orang kecil yang mencari uang dengan berjualan takjil dan lainnya?" Ini pertanyaan paling utama yang harus dijawab, dicari solusinya.

Tentu saja sejauh ada kemauan pasti ada jalan. Meski jalan itu mugkin tak mampu memuaskan semuanya. Selama ramadhan, ada baiknya para pelaku usaha kecil (misal penjual menu takjil) cukup berjualan di depan rumah. Nah, tugas para tetangganyalah, terutama yang mampu, untuk membeli dagangan mereka. Atau, bisa saja memanfaatkan para drivel ojol, tetapi dengan syarat masing-masing mematuhi protokol pencegahan.

Lalu bagaimana dengan mereka yang kerjanya serabutan, stay at home akan berpotensi membunuh penghasilan orang-orang ini. Lagi-lagi, ini juga tugas tetangga-tetangga yang mampu untuk membantu, memastikan dapur mereka tetap ngebul selama ramadhan. Paling tidak ada makanan untuk sahur dan berbuka. Bukankah ramadhan identik dengan berbagi. Ini saatnya. Di luar itu, Negara harus hadir, mensuplai kebutuhan pokok orang-orang yang secara sosial sangat rentan ini. Berikutnya, lembaga-lembaga amil, seperti Lazisnu dan Lazismu punya sasaran (mustahiq) yang jelas untuk disentuh.

Ini juga jadi momentum bagi masjid dan mushola untuk benar-benar memberdayakan jamaahnya, menjadi basis yang memakmurkan umat di sekitarnya. Agar gerakan ini efektif dan optimal, orang-orang kaya sebisa mungkin mengeluarkan zakat/infaq/shodaqoh sebelum ramadhan. Bila perlu ‘dipaksa’ untuk berzakat. Saya yakin, jika dana zakat mal saja dikelola dengan semestinya, potensinya bisa sampai 200 triliun. Para ahli sudah menghitung potensinya. Ini waktunya umat Islam membuktikan diri bahwa ajaran tentang zakat sangat besar manfaatnya untuk mensejahterakan umat dan bangsa.

Prinsipnya adalah keprihatinan. Orang yang kaya tidak mendemonstrasikan kesenjangan ekonomi selama ramadhan sekaligus menunjukkan tanggung jawab sosialnya dengan membantu tetangga kanan kiri yang membutuhkan selama satu bulan. Sebaliknya, orang-orang miskin pun harus mengendalikan keinginannya untuk membeli makanan dan pakaian untuk berlebaran seperti biasanya. Yang terpenting, bagaimana kebutuhan pokok mereka terpenuhi dulu.

Bagaimana dengan potensi gelombang mudik. Karena pemerintah pusat sepertinya tidak secara tegas melakukan pelarangan, maka kampanyenya harus digalakkan semasif mungkin. Kalaupun sebagian tetap nekad mudik, maka tugas pemerintah daerah setempat untuk menjalankan protokol ketat, terutama memastikan para warganya yang tiba di kampung halaman menjalani karantina 14 hari. Pemerintah kabupaten/kota bisa melibatkan desa/kelurahan untuk mengefektifkan protokol ini. Nyatanya, beberapa desa di pantura Jawa Tengah sudah berinisiatif melakukannya. Seperti di Desa Pacet, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, yang sempat disambangi dan dipuji Ganjar Pranowo. Ini link beritanya.

Saudaraku sebangsa dan setanah air, mari sama-sama belajar berkorban untuk kepentingan yang lebih besar, untuk bangsa dan Negara. Kalau dulu mayoritas founding fathers yang beragama Islam mau mengorbankan tujuh kata di Piagam Jakarta demi keutuhan bangsa, saat ini kondisi bangsa juga tengah sulit dan mengundang pengorbanan kita semua. Ini akan menjadi masa-masa sulit, ramadhan yang sulit, dan mungkin idul fitri yang sulit. Maka semangat keprihatinan harus kita gelorakan dan aktualisasikan selama sebulan ke depan nanti. Karena kita sedang beradu cepat dengan penyebaran Covid-19, maka semangat keprihatinan dimaksud adalah ikhtiar kita menghambat dan syukur-syukur memutus rantai penularannya.

Inilah makna puasa yang sesungguhnya, mengendalikan keinginan. Ramadhan akan sebenar-benarnya menjadi ujian iman bagi umat Islam. Bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, tetapi menguji komitmen kita mengorbankan banyak hal demi menghindari bahaya yang lebih besar: wabah corona. Mari sukseskan gerakan #ramadhanmelawancorona agar tiba saatnya idul fitri nanti, pertumbuhan Covid-19 sudah bisa terkendali. Kalau umat Islam Indonesia mau kompak melaksanakan gerakan ini, saya yakin umat-umat lainnya tanpa diminta akan melakukan gerakan yang sama. Kalau gerakan ini sukses, maka kita telah mencatatkan sejarah gemilang sekaligus mewariskan inspirasinya kepada anak cucu kelak, bagaimana agama telah menjadi ruh sebuah gerakan sosial masif demi menyelamatkan nyawa anak bangsa dari ancaman pandemi Covid-19.

Kalau gerakan ini efektif, maka kita boleh optimis bahwa wabah corona akan terkendali saat lebaran tiba. Maka kalau ada pertanyaan seperti pada judul di atas, ‘Memimpikan Idul Fitri Tanpa Pandemi, Mungkinkah?’. Jawabannya adalah sangat mungkin. #ramadhanmelawancorona []

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun