Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memimpikan Idul Fitri Tanpa Pandemi, Mungkinkah?

10 April 2020   08:02 Diperbarui: 10 April 2020   11:48 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu saja sejauh ada kemauan pasti ada jalan. Meski jalan itu mugkin tak mampu memuaskan semuanya. Selama ramadhan, ada baiknya para pelaku usaha kecil (misal penjual menu takjil) cukup berjualan di depan rumah. Nah, tugas para tetangganyalah, terutama yang mampu, untuk membeli dagangan mereka. Atau, bisa saja memanfaatkan para drivel ojol, tetapi dengan syarat masing-masing mematuhi protokol pencegahan.

Lalu bagaimana dengan mereka yang kerjanya serabutan, stay at home akan berpotensi membunuh penghasilan orang-orang ini. Lagi-lagi, ini juga tugas tetangga-tetangga yang mampu untuk membantu, memastikan dapur mereka tetap ngebul selama ramadhan. Paling tidak ada makanan untuk sahur dan berbuka. Bukankah ramadhan identik dengan berbagi. Ini saatnya. Di luar itu, Negara harus hadir, mensuplai kebutuhan pokok orang-orang yang secara sosial sangat rentan ini. Berikutnya, lembaga-lembaga amil, seperti Lazisnu dan Lazismu punya sasaran (mustahiq) yang jelas untuk disentuh.

Ini juga jadi momentum bagi masjid dan mushola untuk benar-benar memberdayakan jamaahnya, menjadi basis yang memakmurkan umat di sekitarnya. Agar gerakan ini efektif dan optimal, orang-orang kaya sebisa mungkin mengeluarkan zakat/infaq/shodaqoh sebelum ramadhan. Bila perlu ‘dipaksa’ untuk berzakat. Saya yakin, jika dana zakat mal saja dikelola dengan semestinya, potensinya bisa sampai 200 triliun. Para ahli sudah menghitung potensinya. Ini waktunya umat Islam membuktikan diri bahwa ajaran tentang zakat sangat besar manfaatnya untuk mensejahterakan umat dan bangsa.

Prinsipnya adalah keprihatinan. Orang yang kaya tidak mendemonstrasikan kesenjangan ekonomi selama ramadhan sekaligus menunjukkan tanggung jawab sosialnya dengan membantu tetangga kanan kiri yang membutuhkan selama satu bulan. Sebaliknya, orang-orang miskin pun harus mengendalikan keinginannya untuk membeli makanan dan pakaian untuk berlebaran seperti biasanya. Yang terpenting, bagaimana kebutuhan pokok mereka terpenuhi dulu.

Bagaimana dengan potensi gelombang mudik. Karena pemerintah pusat sepertinya tidak secara tegas melakukan pelarangan, maka kampanyenya harus digalakkan semasif mungkin. Kalaupun sebagian tetap nekad mudik, maka tugas pemerintah daerah setempat untuk menjalankan protokol ketat, terutama memastikan para warganya yang tiba di kampung halaman menjalani karantina 14 hari. Pemerintah kabupaten/kota bisa melibatkan desa/kelurahan untuk mengefektifkan protokol ini. Nyatanya, beberapa desa di pantura Jawa Tengah sudah berinisiatif melakukannya. Seperti di Desa Pacet, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, yang sempat disambangi dan dipuji Ganjar Pranowo. Ini link beritanya.

Saudaraku sebangsa dan setanah air, mari sama-sama belajar berkorban untuk kepentingan yang lebih besar, untuk bangsa dan Negara. Kalau dulu mayoritas founding fathers yang beragama Islam mau mengorbankan tujuh kata di Piagam Jakarta demi keutuhan bangsa, saat ini kondisi bangsa juga tengah sulit dan mengundang pengorbanan kita semua. Ini akan menjadi masa-masa sulit, ramadhan yang sulit, dan mungkin idul fitri yang sulit. Maka semangat keprihatinan harus kita gelorakan dan aktualisasikan selama sebulan ke depan nanti. Karena kita sedang beradu cepat dengan penyebaran Covid-19, maka semangat keprihatinan dimaksud adalah ikhtiar kita menghambat dan syukur-syukur memutus rantai penularannya.

Inilah makna puasa yang sesungguhnya, mengendalikan keinginan. Ramadhan akan sebenar-benarnya menjadi ujian iman bagi umat Islam. Bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, tetapi menguji komitmen kita mengorbankan banyak hal demi menghindari bahaya yang lebih besar: wabah corona. Mari sukseskan gerakan #ramadhanmelawancorona agar tiba saatnya idul fitri nanti, pertumbuhan Covid-19 sudah bisa terkendali. Kalau umat Islam Indonesia mau kompak melaksanakan gerakan ini, saya yakin umat-umat lainnya tanpa diminta akan melakukan gerakan yang sama. Kalau gerakan ini sukses, maka kita telah mencatatkan sejarah gemilang sekaligus mewariskan inspirasinya kepada anak cucu kelak, bagaimana agama telah menjadi ruh sebuah gerakan sosial masif demi menyelamatkan nyawa anak bangsa dari ancaman pandemi Covid-19.

Kalau gerakan ini efektif, maka kita boleh optimis bahwa wabah corona akan terkendali saat lebaran tiba. Maka kalau ada pertanyaan seperti pada judul di atas, ‘Memimpikan Idul Fitri Tanpa Pandemi, Mungkinkah?’. Jawabannya adalah sangat mungkin. #ramadhanmelawancorona []

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun