Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Tak Peduli dengan Covid-19?

8 April 2020   10:14 Diperbarui: 8 April 2020   10:25 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi, diambil dari: https://radarpekalongan.co.id

ADAKAH yang masih tak hirau dengan pandemi Coronavirus Desease 2019 (Covid-19) hari ini? Tak peduli dan merasa tak takut dengan wabah yang telah memapar sebagian besar Negara di dunia, menggoncang ketahanan Negara-negara besar macam Tiongkok dan Amerika Serikat? 

Tak apalah kalau --siapapun Anda- merasa tak takut, tak memerdulikan diri dengan potensi tertular. Tetapi paling tidak, hiraukan tetanggamu, teman kerjamu, dan jangan lupa orang tua dan mungkin anak istrimu. Ingatlah, fakta menunjukkan tidak ada yang kebal dengan paparan virus corona.

Kalau Anda tak peduli, mohon simaklah data perkembangan kasus Covid-19. Tidak perlu menengok Negara lain, cukup negaramu. Awal Maret, Pemerintah Pusat mengumumkan kasus pertama Covid-19, 2 warga Depok dinyatakan positif. 

Sejurus kemudian, temuan kasus lain bermunculan. Kini, angkanya sudah menembus 2.738 kasus positif, di mana 221 meninggal karenanya dan 204 yang dinyatakan sembuh (data per 7 April 2020). 

Sebagian pihak meyakini kasus yang sebenarnya jauh lebih tinggi dari itu, hanya belum terdeteksi saja. Mungkin karena tak bergejala. Mungkin juga karena keterbatasan kemampuan pemerintah melakukan rapid test massal, apalagi kapasitas tes swab yang amat terbatas.

Kalau Anda masih muda, fisik sehat dan fit, imun bagus, tidak masalah kalau tak takut terpapar, sehingga mengabaikan protokol  pencegahan Covid-19. Tetapi bagaimana jika Anda menjadi carrier, orang tanpa gejala (OTG) tetapi menghantarkan virus ini pada mereka yang rentan, orang-orang tua di rumah dan sekitar. Kalau orang-orang tua atau mereka yang memiliki riwayat sakit berat engkau tularkan virus ini, maka risikonya adalah kematian, saudaraku.

Itulah contoh kecil dari luapan kesal dan mungkin frustasi sebagian orang terhadap sebagian lainnya yang seolah tak peduli dengan ancaman Covid-19. Mereka yang menganggap virus corona adalah masalah 'di sana', bukan 'di sini'. Mereka yang cuek, sama sekali tak terganggu dengan himbauan pentingnya menghindar dari potensi tertular corona. 

Mereka tak butuh masker, tetap asyik masyuk menikmati berkumpul dan berkerumun, tak butuh cuci tangan setelah seharian aktivitas di luar rumah. Bahkan meski di wilayahnya sudah ada sekian orang yang menyandang status Orang dalam Pantauan (ODP), beberapa dirawat di rumah sakit sebagai Pasien dalam Pengawasan (PDP), atau ada satu dua yang positif Covid-19.

Betul, kita tak boleh panik menyikapi wabah ini, tetapi juga tak bisa meremehkan. Karena terlambat merespon saja bisa berakibat fatal. Italia dan Amerika Serikat contohnya. Sudah puluhan ribu warganya meninggal karena corona.

Atau, kalau Anda merasa orang beragama yang tak perlu takut dengan virus corona, sehingga tetap nekat memaksakan aktivitas ibadah yang berpotensi mengundang keramaian, seperti shalat Jumat dan pengajian akbar, mengabaikan himbauan MUI dan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah, yakinilah paparan virus ini tak memandang agama. 

Anda boleh merasa tak takut dengan virus, merasa lebih takut kepada Allah, boleh juga merasa kebal, tetapi paling tidak memahami bahwa jamaah lainnya tak kebal dengan corona.

"Wah, Anda lebih takut corona daripada Allah !," katamu. Loh, kewaspadaan kita terhadap Covid-19 ini justru menjadi bagian dari ketaatan kita pada aturan Allah, pada hukum alam yang mengandaikan kausalitas, pada sunnatullah. Seperti saat Anda sakit lalu pergi ke dokter, atau meminta bantuan teman saat tertimpa masalah, toh Anda tidak sedang menduakan Allah.

"Wah, jangan menebar ketakutan, berpikir positif saja, optimis," timpal yang lainnya. Ya, tentu kita harus optimis, berpikir positif bahwa pandemi ini akan mampu dikendalikan dan berakhir. Justru karena  keyakinan itulah kita harus memaksimalkan ikhtiar, agar kita tak malu saat melangitkan doa dan bertawakal pada Tuhan. Ikat dulu untamu, baru engkau bertawakal, begitu Nabi berpesan.

Bukankah sikap optimis terbaik adalah dengan proaktif, mewujudkan apa yang kita yakini. Oleh sebab, kita tak pernah tahu takdir yang telah dituliskan Tuhan. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun