"Braaak....". Suara benturan cukup keras menyita banyak orang di sekitarku. Sebagian orang segera berlari ke sebrang jalan. Sebuah becak ambruk, sepertinya terserempet mobil. Aku yang baru saja keluar dari minimarket, pun ikut-ikutan menghampiri. Benar saja, Â becak itu ambruk ke depan. Di timur jalan, sebuah mobil Toyota Fortuner menepi. Sepertinya mobil inilah yang menyerempet becak.
Aku mendekat. Ternyata benturannya cukup keras. Entah terserempet atau tertubruk, nyatanya badan becak nyungsep ke depan, posisi roda belakang nungging atas. Sembilan puluh derajat. Sementara penumpangnya ikut keambrukan becak. Yang cukup tragis ternyata si abang becak, atau lebih tepatnya tukang becak, karena usianya kutaksir sudah di atas kepala lima. Dia terpelanting dua tiga meter ke samping.
Kuamati lebih dekat dari balik becak. Sambil berusaha membantu warga lain yang ingin menurunkan badan becak. Sosok perempuan STW bangkit dari dalamnya sambil sedikit tertatih dan wajah yang memucat-tegang. Aku memandangnya dengan kasihan. Wajahnya cukup cantik, meski usianya tak lagi muda. Kulihat lebih jelas wajahnya, tapi.....
"Wah, ini bukannya ibu-ibu yang tadi di minimarket"
***
Aku masih antre di depan kasir sebuah minimarket waralaba yang sangat ekspansif itu. Satu orang di depanku tengah menyelesaikan pembayaran di depan kasir. Melihat tumpukan barangnya, aku cuma bisa menghela nafas. Â Sesaat ketika orang di depanku tinggal menunggu struk pembayaran, sosok perempuan menyelonong dari belakang. Tanpa beban, dia langsung memberikan satu pack tisu kering ke kasir. "Ini berapa, mba?
Huft, dadaku mendadak berkontraksi. Nafas sedikit tersengal. "Mbok ngantre, apa susahnya, berapa lama sih?" batinku.
"Sebelas ribu lima ratus,Ibu," jawab Kasir. Perempuan ini langsung mengeluarkan dompet. Dari belakangku, muncul perempuan lebih muda, menyodorkan barang lainnya. Mungkin anaknya.
Perempuan ini seumuran STW, mungkin sekitar 45 an atau menjelang 50, Tampilannya cukup modis, wajahnya terawatt make up, cantik. Pastilah orang kaya. Paling tidak, bukan miskin. Tapi masa, cantik-cantik tak mau antre, kan jadi ga respek kitanya.
Padahal, aku sudah antre lama. Pun belanjaanku tak lebih dari lima belas ribu perak, Cuma jajanan untuk anak bontot.
***
Perempuan itu kini sudah berdiri. Tubuhnya sedikit kaku. Nafasnya pun tersengal. Kasihan sekali dia, shock. Tapi membayangkan perilakunya di minimarket tadi, aku sempat menahan simpati. Dalam hati, aku ingin sekali menyimpulkan insiden itu sebagai teguran dari Tuhan. Ada desakan yang meledak-ledak untuk merasakan semacam ekstase spiritual, Gede Rasa, baper, merasa apa yang dialami perempuan itu sebagai balasan Tuhan atas perilakunya sendiri.
Tetapi belum sempat mengeja sensasi-sensasi batin itu, aku dikagetkan dengan munculnya perempuan lain dari balik becak yang baru saja ambruk. Ini juga perempuan yang tadi, anaknya mungkin. Begitu dia bangkit dibantu warga, lamunanku sedikit tersedak menyaksikan wujud bagian perutnya.
Astaga, perempuan muda ini sedang hamil ternyata, Hamil tua malah. Akupun mundur teratur, kembali ke parkiran,lantas melajukan motor dengan pelan. Di jalan,setengahnya melamun. Mengingat kembali dinamika batin sesaat lalu. Agh, nyaris saja. Ternyata, dalam balutan apapun, betapa nikmatnya sensasi mendendam. []
Based on true story
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI