MAKAN tiga kali sehari sepertinya sudah menjadi kebiasaan yang terpola di masyarakat. Bahkan, mungkin saja dianggap sebagai 'keharusan medis', bahwa kebiasaan makan yang sehat adalah tiga kali dalam sehari; pagi, siang, dan malam. Tapi benarhkah demikian? Nyatanya tubuh kita cukup tahan ketika 'dipaksa' untuk makan dua kali sehari saat sebulan berpuasa Ramadhan.
Artinya, pola makan tiga kali sehari sebetulnya tidak lebih dari kabiasaan yang telah mengakar dalam masyarakat. Konon, pola itu berawal dari orang-orang Eropa di era revolusi industri, di mana pekerja yang terporsir fisiknya akhirnya membiasakan sarapan pagi dan makan siang untuk memastikan staminanya tetap terjaga. Tuntutan itu akhirnya melahirkan pola makan masyarakat Eropa menjadi terstruktur dan pada akhirnya mendunia.
Meski telah menjadi kebiasaan keseharian masyarakat kita, termasuk masyarakat Muslim di Indonesia, kebiasaan bukanlah sesuatu yang paten dan tidak bisa dirubah. Seperti telah disinggung di awal, faktanya selama Bulan Ramadhan hampir setiap orang yang berpuasa bisa secara otomatis merubah pola makannya menjadi dua kali sehari.Â
Setiap hari selama sebulan, tubuh kita hanya diasupi makan sahur agar kuat menjaga stamina sampai maghrib tiba. Saat berbuka, orang hanya minum dan memakan takjil, baru setelahnya makan. Atau untuk sebagian kita mungkin langsung berbuka dengan makan besar.
Dua jadwal makan itulah yang menjadi kebiasaan harian kita di Bulan Ramadhan. Kalaupun ada asupan di sela antara maghrib sampai malam hari, kebanyakan mungkin hanya ngemil. Bagi sejumlah orang, terutama perempuan, Ramadhan bahkan dijadikan sebagai program diet menyusutkan berat badan.
Nah, dari pengalaman puasa Ramadhan inilah kita bisa belajar banyak hal, termasuk sesuai bahasan tulisan ini adalah bagaimana merubah kebiasaan. Bahwa pola makan yang sudah tertanam sejak kecil pun nyatanya bisa dirubah dan kita kuat menuntaskannya. Lantas, bilamana kebiasaan itu bisa berubah dan faktor apa yang mendorongnya?
Dalam agama, kita mengenal konsep niat, yakni kesengajaan untuk melakukan sesuatu. Dalam bahasan fiqih ibadah, setiap ibadah praktis menjadikan niat sebagai rukun. Hal ini untuk menegaskan bahwa ibadah dilaksanakan dalam kondisi sadar, tidak gila, tidak dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang, dan lainnya. Â
Faktor niat ternyata berdampak besar terhadap gerak dan ucapan. Dalam shalat misalnya, setelah niat, kita harus melaksanakan rukun shalat, baik bacaan maupun gerak, dari takbiratul ikhram sampai salam. Tidak boleh ada aktivitas ucap dan fisik lain di luar yang telah diatur, karena bisa membatalkan shalatnya.
Ketika saat sahur kita berniat berpuasa, maka saat itu kita secara sadar dan sengaja menyiapkan diri untuk berpuasa. Niatlah yang akhirnya memberikan perintah ke seluruh saraf agar melakukan kebiasaan puasa, yakni tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan seksual bagi suami istri. Atau untuk tingkatan puasa yang berkualitas, niat juga akan memerintahkan nafsunya agar tidak melakukan hal-hal yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan nilai pahala puasa.
Karena niat, kita bisa tahan menahan rasa lapar dan haus dari fajar sampai maghrib. Tak terkecuali bagi orang-orang yang tak terbiasa berpuasa sunah, terbiasa banyak makan di luar Ramadhan, mereka tetap kuat. Inilah dahsyatnya niat.