PUASA Ramadhan adalah ibadah yang memiliki kedudukan istimewa di hadapan Allah SWT. Â Dalam sebuah hadits qudsi popular, Tuhan menegaskan hal itu.
"Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), "Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya....(HR. Bukhari)
Menyimak urutan makna dalam hadits itu, maka Allah seolah ingin menegaskan, bahwa puasa itu lepas dari hitung-hitungan ganjaran pada umumnya ibadah lainnya. Maka puasa adalah ibadah kualitatif, karena Allah sendiri yang akan menilai dan mengganjarnya. Selain diri dengan Tuhan, siapa yang benar-benar tahu kalau kita berpuasa. Maka tidak hanya sifatnya sangat privat dan sarat keintiman hamba dengan Tuhannya, tetapi puasa juga menekankan aspek kualitatif ketimbang kuantitasnya.
Dengan prinsip demikian, rasanya tidak cukup iman dibuktikan dengan pengakuan. Iman haruslah terlibat dan melibatkan diri terhadap problem sosial manusia. "Tidak beriman seseorang di antara kalian sampai engkau mencintai saudaramu seperti mencintai diri sendiri". Itu sebabnya, kata iman seringkali dilekat-pasangkan dengan kata amal shalih, agar iman tak berhenti pada ucapan dan keyakinan.
Bagaimana dengan toleransi, sebuah komitmen dan sikap proaktif yang memaknai perbedaan sebagai keniscayaan sekaligus ihtiar merawat fakta keragaman itu sendiri. Dalam beberapa ayat Alquran, Allah menegaskan bagaimana keragaman itu adalah sunnatullah, ketetapan Allah yang fitrah. Jikalah Allah menghendaki, bisa saja manusia dijadikan satu, seragam, semuanya beriman dan beragama tunggal. Karena itu, keragaman ada tidak hanya untuk diamini, tetapi juga dirawat bersama agar menjadi rahmat.
Nah, belajar dari prinsip ibadah puasa yang menekankan aspek kualitas, maka komitmen dan ikhtiar merawat keragaman itu semestinya tidak berhenti pada kampanye jargonik. Konon, Indonesia adalah jagonya bikin konsep dan jargon, tetapi dengan implementasi yang senjang. Kurang fasih apa Bung Karno dengan Pancasila dan UUD 1945, tetapi sebagai salah satu perumus konsep kebangsaan brilian itu, Bung Karno justru harus turun dari kekuasaan karena dinilai melenceng dari Pancasila.
Orde Baru pun muncul dengan doktrin melaksanaan Pancasila dan UUD secara murni dan konsekuen. Lagi-lagi, Soeharto diturunkan karena dinilai melenceng jauh dari falsafah Pancasila. Pun Orde Reformasi, entah sudah berapa banyak suara yang menuntut dikembalikannya arah pembangunan bangsa kepada Pancasila dan terutama UUD 1945 yang asli. Kalau makalah yang mengkaji kehebatan Pancasila dihimpun dan ditumpuk, mungkin tingginya sampai langit ketujuh. Tetapi ya itu, derajatnya mungkin masih tak beranjak pada jargon, sementara pelaksanaannya jauh panggang dari api.
Lantas, bagaimana agar ikhtiar merawat dan menyemarakkan keragaman ini berjalan secara baik dan berkualitas. Pertama, tahu saja tidak cukup. Kita semua tahu dan mungkin sangat fasih menderas detail kenaragaman Indonesia, tetapi apakah pengetahuan itu sudah melahirkan kesadaran untuk merawatnya. Bahkan, tidak ada jaminan mereka yang getol meneriakkan toleransi, laku hidup kesehariannya juga toleran.
Kedua, konsep sebesar dan sehebat apapun haruslah dimulai perwujudannya dari yang terkecil. Rumusnya, rampungkan dulu hal-hal kecil, baru engkau bicara hal besar. Tanyalah batin kita, sudahkah kita toleran terhadap fakta perbedaan di lingkungan keluarga, di lingkungan sekitar, di jalanan? Kita harus malu meneriakkan pentingnya toleransi jika perilaku kita di jalan raya masih membuat banyak pengendara tak nyaman, jika ucap dan laku kita membuat tetangga tak tenang.
Maka sebelum kita bicara tentang pentingnya toleransi dengan pihak luar, ada baiknya tunaikan dulu sikap itu di internal. Sebagai Muslim dengan latar belakang afiliasi madzhab hingga ormas yag berbeda-berbeda, sudahkah kita mampu menempatkan saudara Muslim lain yang tak selembaga, tak semadzhab, tak seormas, dalam tempat yang terhormat? Kalau di level ini saja belum tuntas, maka ada potensi menyuarakan toleransi sebagai sensasi.
Ketiga, kalau keragaman itu sunnatullah, maka jangan pernah berharap apalagi memaksakan penyeragaman. Artinya, ada batas-batas identitas perbedaan yang harus saling dijaga. Apakah seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal kepada rekannya yang Kristiani otomatis disebut toleran, bisa jadi. Tapi belum tentu juga, seorang Muslim yang berkeyakinan bahwa mengucapkan selamat Natal adalah terlarang sebagai tidak toleran. Ini soal keyakinan yang berbeda, sehingga tak bisa jadi ukuran. Pengalaman ini pernah saya jumpai saat masih di SMA, dan semuanya fine-fine saja, baik yang mengucapkan atau tidak mengucapkan selamat natal maupun teman yang non Muslim.
Saat kelas 2 SMA, ada seorang siswa Muslim di kelas kami yang sangat pandai dengan pelajaran exacta, terutama kimia. Dia bahkan menjelma menjadi the second teacher, karena menjadi tempat bertanya dan belajar, termasuk bagi yang non Muslim. Bahkan ada pemandangan tak lazim, ketika seorang non Muslim rela menunggu si jenius kimia itu shalat di masjid sekolah, karena ingin belajar Kimia. Pun ada siswa Budha yang pandai Matematika, dia sering jadi sumber brtanya soal rumus-rumus yang nlimet. Bagi saya, ini pemandangan toleransi yang indah. Levelnya sudah pada kualitas, yakni saling memberi kemanfaatan.
Di sebuah masa, pemikiran keagamaan Nurcholish Madjid di-bully, karena dianggap elitis. Terutama saat dia menyelenggarakan kajian untuk orang-orang tajir di hotel-hotel. Saya bilang, biarkan, itu bagi tugas. Karena tidak mungkin Cak Nur mengisi pengajian di surau kampong, meski mampu, tapi manfaat ilmunya kurang optimal. Ini soal bagi tugas, soal segmentasi dakwah dan tabligh, karena tidak ada satu tokoh dengan kualifikasi kemampuan yang mampu menjangkau keseluruhan.
Sama halnya dengan tren hijrahnya artis, tidak sedikit yang nyinyir. Kalau dengan itu mereka menjadi lebih baik, lebih peduli, kenapa harus dibully. Mungkin yang berhasil merangkul mereka adalah kelompok Jamaah Tabligh atau sebagian salafi, ya biarkan. Karena NU dan Muhammadiyah nyatanya tak mampu menjangkau segmen itu. Maka sikap kita adalah hormati, bila perlu support agar animo masyarakat untuk belajar agama hidup dan bertumbuh.
Kualitas toleransi inilah yang harus dirawat dulu, sehingga kita cukup punya modal untuk menyemarakkan keragaman yang menjadi khazanah keindonesiaan kita. Kalau komitmen itu terjaga, maka kita sedang mengundang rahmat Allah turun menggarami keragaman kita. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H