Ketiga, kalau keragaman itu sunnatullah, maka jangan pernah berharap apalagi memaksakan penyeragaman. Artinya, ada batas-batas identitas perbedaan yang harus saling dijaga. Apakah seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal kepada rekannya yang Kristiani otomatis disebut toleran, bisa jadi. Tapi belum tentu juga, seorang Muslim yang berkeyakinan bahwa mengucapkan selamat Natal adalah terlarang sebagai tidak toleran. Ini soal keyakinan yang berbeda, sehingga tak bisa jadi ukuran. Pengalaman ini pernah saya jumpai saat masih di SMA, dan semuanya fine-fine saja, baik yang mengucapkan atau tidak mengucapkan selamat natal maupun teman yang non Muslim.
Saat kelas 2 SMA, ada seorang siswa Muslim di kelas kami yang sangat pandai dengan pelajaran exacta, terutama kimia. Dia bahkan menjelma menjadi the second teacher, karena menjadi tempat bertanya dan belajar, termasuk bagi yang non Muslim. Bahkan ada pemandangan tak lazim, ketika seorang non Muslim rela menunggu si jenius kimia itu shalat di masjid sekolah, karena ingin belajar Kimia. Pun ada siswa Budha yang pandai Matematika, dia sering jadi sumber brtanya soal rumus-rumus yang nlimet. Bagi saya, ini pemandangan toleransi yang indah. Levelnya sudah pada kualitas, yakni saling memberi kemanfaatan.
Di sebuah masa, pemikiran keagamaan Nurcholish Madjid di-bully, karena dianggap elitis. Terutama saat dia menyelenggarakan kajian untuk orang-orang tajir di hotel-hotel. Saya bilang, biarkan, itu bagi tugas. Karena tidak mungkin Cak Nur mengisi pengajian di surau kampong, meski mampu, tapi manfaat ilmunya kurang optimal. Ini soal bagi tugas, soal segmentasi dakwah dan tabligh, karena tidak ada satu tokoh dengan kualifikasi kemampuan yang mampu menjangkau keseluruhan.
Sama halnya dengan tren hijrahnya artis, tidak sedikit yang nyinyir. Kalau dengan itu mereka menjadi lebih baik, lebih peduli, kenapa harus dibully. Mungkin yang berhasil merangkul mereka adalah kelompok Jamaah Tabligh atau sebagian salafi, ya biarkan. Karena NU dan Muhammadiyah nyatanya tak mampu menjangkau segmen itu. Maka sikap kita adalah hormati, bila perlu support agar animo masyarakat untuk belajar agama hidup dan bertumbuh.
Kualitas toleransi inilah yang harus dirawat dulu, sehingga kita cukup punya modal untuk menyemarakkan keragaman yang menjadi khazanah keindonesiaan kita. Kalau komitmen itu terjaga, maka kita sedang mengundang rahmat Allah turun menggarami keragaman kita. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H