Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Memburu Berkah (2): Menjemput Kemengan nan Fitri

23 Mei 2019   23:15 Diperbarui: 23 Mei 2019   23:39 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cdn.tmpo.co/

Memburu Berkah (1)

Awal Ramadhan 1439 H.

AKU menghindar dari potensi menggurui Rudi. Karena seperti dirinya, akupun masih harus berjuang untuk memburu berkah, mencari kualitas ketenangan hidup yang berkelanjutan. Bahwa di antara lalu lalang nafsu dan keinginan, aku harus pandai mengelola hati agar tak dikendalikan perlombaan menumpuk hasrat.

Tapi, entah kenapa Rudi terus memaksaku meminta wejangan yang mencerahkan. Dia bilang telah terjebak dengan sentilanku. "Aku sedang galau, bro. Pertama karena hentakan pertanyaan putriku, keduanya oleh sentilanmu soal berkah. Tolong, berilah jalan agar aku tak menggantung seperti ini. Ajari aku cara menjemput berkah. Mumpung kita masih di bulan ramadhan," ujarnya.

Sekali lagi, aku tak ingin menggurui. Akupun mengais-kais ingatan soal pengalaman menghadapi masalah serupa Rudi. Ini cara terbaik agar aku yang ekonomi pas-pasa serta Rudi yang berlebih bisa sama-sama belajar.

"Gini bro, aku pernah merasa malu dan lebih rendah kualitas kemanusiaanku dari abang tukang becak. Kasusnya mungkin bisa menjawab kegelisahanmu, kegelisahanku juga," ucapku disambut raut serius Rudi.

Suatu hari, aku stres berat. Dalam kondisi keuangan yang mepet pet, aku dituntut kebutuhan sekolah anaku yang sedang butuh pengeluaran tinggi. Tak ingin berdiam diri, aku bergerak ke sana kemari, mencari peluang rejeki sampai mencari peluang berhutang ke teman.

Tapi dari pagi sampai jelang tengah hari, tak ada hasil. Padahal, besoknya uang sekian juta harus aku penuhi untuk biaya sekolah anakku. Saking pusingnya, aku mampir ke mushola terdekat untuk istirahat sekalian shalat dzuhur. "Akupun shalat berjamaah, berharap beroleh ketenangan. Paling tidak biar kepala sedikit rileks,"

"Terus?" kata Rudi menginterupsi.

"Hahaha...kepo juga kau. Kamu tahu, shalat ternyata gagal menenangkanku. Sampai keluar dari mushola, sayup-ayup kudengar lagu Diana Ross, itu loch, when you tell me that you love me. Panas-panas dengerin lagu itu kan asyik betul, bro"

Rudi meresponnya dengan kening berkerut. "Serius ini, apa hubungannya sama Diana Ross?" tukasnya kesal.

Saat itu, aku tersugesti mencari sumber tembang merdu itu. Yang membuatku kaget, ternyata lagu Diana Ross itu berasal dari ponsel jadul seorang abang tukang becak. Sementara si abang tertidur pulas di joknya. "Awalnya aku protes, hebat betul selera musik si abang tukang becak. Bahkan untuk penghantar tidur, dia mendendangkan tembang hits salah satu diva pop dunia. Tetapi mendadak kesadaranku tersentak. Aku jadi berpikir. Lelaki paruh baya yang mengayuh becak untuk menafkahi anak istrinya bisa begitu lelapnya beristirahat. Sementara aku yang tinggal di rumah cukup lapang dengan spring bed kesulitan nyenyak hanya gara-gara kesulitan memenuhi kebutuhan anakku. Agh, malu aku. Padahal, isi dompetku saat ini mungkin lebih banyak dari si abang tukang becak,"

Rudi masih tampak serius menunggu kelanjutan ceritaku. Tetapi raut mukanya sedikit mengendur, tak setegang sebelumnya. "Maksudmu, tukang becak itu lebih berkah dari kamu, bro? Tanya Rudi.

"Dalam kasusku saat itu, kubilang iya. Karena dia lebih memiliki ketenangan hidup. Mungkin dia lebih bahagia. Padahal, tak sedikit orang-orang kaya raya yang untuk tidur saja harus mengkonsumsi obat penenang. Inilah hidup, bro. Lucu kadang ya,"

"Kuncinya, menurutku ada di Ramadhan ini, bro. Mohon maaf, mungkin kamu yang hidup berkecukupan sering diburu ritual mengejar pemenuhan keinginan demi keinginan. Selesai dengan ini, pingin itu dan seterusnya. Jadi, kadang kita dibuat menderita oleh lalu lalang keinginan yang kita buat sendiri, tanpa berupaya mengendalikannya. Nah, kata para kiai dan ustadz, puasa itu hakikatnya tirakat untuk mendidik keinginan agar tak liar. Nah, siapa yang sukses melakoni hakikat puasa, dialah yang akan memperoleh kualitas berkah, dia pasti bahagia,"

"Tolong diperjelas, bro. Aku belum menemukan benang merahnya ini, puasa bikin orang bahagia?"

"Coba kau bayangkan saat buka puasa. Setelah seharian menahan lapar dan bahagia, maka saat paling bahagia adalah begitu adzan maghrib berkumandang kan. Nah, di momen itu, segelas teh manis atau air putih beserta tiga biji kurma sebetulnya sudah cukup membahagiakan. Tapi nafsulah yang membuat kita ingin memenuhi meja makan dengan aneka menu takjil yang terlihat menggoda lidah di sore hari. Padahal, belum tentu pas berbuka bisa termakan semua,"

"Wah, betul juga sih," celetuk Rudi menyimpulkan.

Mumpung dia mulai mengamini, akupun berkisah tentang drama besar terusirnya Adam dan Hawa dari tlatah kenikmatan surga ke bumi yang fana. Meski telah dianugerahi berjuta kenikmatan si surga, Adam dan Hawa gagal memenuhi satu-satunya larangan Tuhan agar tidak mendekati pohon khuldi.

"Manusia ternyata mewarisi tabiat tamak. Apa yang ada seringkali tak pernah membuatnya cukup. Bahkan sebagian orang menempuhnya dengan cara terlarang, korupsi misalnya. Nah, kata guruku, siapa yang sukses berpuasa, sukses mendidik keinginan dan angan-angannya yang liar, dialah yang akan kembali pada kesucian, iedul fitri, kesucian asali manusia semisal adam saat masih menghuni surga"

Rudi terdiam. Menunduk. Tapi air matanya mengalir. Tanpa aba-aba, dia langsung berdiri menhampiriku. Memelukku dengan hangat.

***

Iedul Fitri 1439 H

Rudi mengjungi rumahku. Bersama istri cantik dan kedua putri manisnya, dia terlihat sangat bahagia. Tiba-tiba si kecil, Arin menghampiriku, mencium tangan dan lantas memelukku. "Terima kasih, Om Anfa. Sekarang meja makan kami selalu hangat setiap malam. Ada aku, Aisya, Mamah, dan Ayah," bisiknya.

Aku kaget. Ternyata Rudi memutuskan resign dari perusahaan. Sebagian tabungannya diinvestasikan untuk membuka usaha rumah toko. Dia kini lebih banyak di rumah. Karena rumah toko pun ada yeng mengurusnya. "Alhamdulillah, masih merintis, bro. Seperti pesanmu, aku sedang belajar menjadi guru atas keinginan-keinginan yang membelenggu," ucapnya dengan raut ceria.

Aku turut bahagia. Rudi telah bahagia. Kian tenang hidupnya. Tapi aku, masih berjuang mendidik keinginanku.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun