Bagi Rudi, apa yang dipunyainya kini sudah lebih dari cukup. Di usianya yang baru menginjak kepala empat, dia telah mempersembahkan anak dan kedua putrinya sebuah hunian yang cukup mewah. Pun dengan kebutuhan sandang, pangan, hingga entertaint, semuanya tercukupi. Statusnya sebagai eksekutif muda dengan gaji hampir 25 kali lipat dari gajiku, cukuplah menjadi penanda kesuksesannya di usia muda.
Tetapi jangan salah, semua kesuksesan itu diperoleh dengan pengorbanan yang tak sedikit juga. Maklum, sejak mentas kuliah sekian tahun silam, Rudi adalah penganut workaholic. Semangat kerja kerasnya pula yang membuat dia terkesan kurang gaul, kurang hiburan, dan berwajah serius, sebagian waktunya didedikasikan untuk bekerja. Tetapi kini, Rudi boleh berbangga pada teman-temannya, bahwa hasil tak pernah mengkhianati proses, kesuksesan teramat setia dengan pengorbanan.
Itu cerita setahun lalu, sebelum Rudi akhirnya menginsafi bahwa kesuksesannya tak serta merta bisa membeli kebahagiaan. Kini dia justru tengah berjuang untuk membayar banyak waktu yang hilang untuk istri dan terutama kedua putrinya yang masih belia. Titik baliknya tak pernah sedikitpun dibayangkan Rudi sebelumnya. Dia yang terbiasa berangkat di pagi buta saat anak-anaknya belum terjaga dan pulang kerja di malam hari di mana dua buah hatinya telah terlelap. Ironisnya, waktu akhir pekan pun jarang sekali bisa dia habiskan untuk putri-putrinya. Posisinya di direksi perusahaan menuntutnya sering dinas luar, entah mengontrol perusahaan cabang atau menemui klien.
Suatu hari di akhir pekan, saat Rudi terburu-buru mengejar jadwal penerbangan, tiba-tiba tangannya ditarik Arin, putri bungsunya yang masih kelas 3 SD. Awalnya Rudi marah karena bisa terlambat sampai di air port. Tetapi mendadak takut saat anaknya tersedu. "Oke, Papah kasih kamu waktu 10 menit ya sayang,"
Anaknya mengamini dengan anggukan. "Lima menit saja,Pah. Arin cuma mau tanya, apakah uang simpanan Papah sudah banyak?"
Rudi kaget sekaligus bingung dengan isi pertanyaan anaknya. Kenapa dia mendadak mengajukan pertanyaan seserius itu, yang tentu butuh serius pula menyusun jawabannya. Apakah ada kebutuhan atau keinginan Arin yang belum bisa aku penuhi?
"Tenang sayang, uang Papah masih cukup untuk membiayai hidup kamu, kakakmu, dan ibumu. Tabungan ayah juga insya Allah cukup untuk masa depan pendidikanmu. Bahkan, kita kan kadang masih suka ke panti asuhan untuk kasih bantuan. Kenapa, ada apa sayang, kok tumben tanya begitu?"
"Papah, Arin tidak butuh uang banyak. Arin, Kak Aisya cuma mau setiap malam Papah bisa di meja makan bareng Arin, Kak Aisya, dan Mamah.."
Kata-kata itu seperti menggantung. Rudi paham, sangat paham apa yang dimaksud dan diingini Arin. Tapi siapa yang mengajarinya? Atau kenapa mendadak dia pertanyakan sesuatu yang bahkan Rudi sendiri sampai-sampai tak menyadari sebelumnya.
***
Kini, Rudi di hadapanku. Dia mencecarku dengan rangkaian pertanyaan yang meledak-ledak. Ya, ledakan itu telah dimulai sejak Arin menghadiahinya sebuah pertanyaan yang teramat mengejutkan. Bukan hanya karena isi pertanyaan yang mungkin melebihi perkembangan usianya, tetapi juga tak pernah sebenar-benarnya terbayangkan di kepala Rudi sebelumnya.
"Aku terlena. Aku telah salah sangka, menyangka anak-anaku bahagia dengan kecukupan banyak hal. Padahal aku sudah bekerja amat keras, melebihi yang lain, membanting-tulangkan ragaku demi membeli kebahagiaan untuk keluargaku. Apa yang salah dengan aku, bro? apakah cara kerjaku tak halal? Demi Tuhan, aku tak pernah sekalipun korupsi, nilep uang kantor sekecil apapun," jelasnya berapi-api.
Aku mematung di depannya. Cukup lama. Bukan tak menghiraukan kegelisahannya, tapi memberinya waktu menumpahkan segala kemelut yang lalu lalang di kepalanya. Benar saja, Rudi terus menyerocos, meski air mata tak luput dari mata lelakinya. Dia seolah menyesali situasi, tetapi sekaligus berjuang keras membela apa yang telah diperjuangkannya selama ini.
"Tidak ada yang salah dengan bekerja dan memburu uang. Menjadi kaya. Tidak ada yang keliru dengan workaholic-mu, kerjamu tetap halal. Tapi bro, tidak semua hal yang halal otomatis mendatangkan berkah," timpalku.
Rudi mengusap mata dan pipinya. Mencoba serius mencerna pendapatku. Dia seperti sedang menahan diri isi kepala yang meronta-ronta. "Apa itu berkah, bro? Bukankah aku sudah kerja keras sesuai anjuran agama, demi menafkahi anak istri. Bukankah aku sudah menyisihkan sebagian penghasilanku untuk zakat dan sedekah? Bukankah semua kebutuhan anak istriku nyaris terpenuhi, lalu apa berkah yang kau maksud? Bilamana berkah menyelimuti rumah kami?," cecarnya, seolah sedang membantah pernyataanku.
"Loh, aku sedang tidak menghakimimu, bro. Aku sendiri sedang dan terus mencari keberkahan, karena ia tak akan usai, tak mungkin konstan. Tapi simpelnya, berkah itu kualitas yang menenangkan, membahagiakan. Bukankah kualitas ini yang sedang kita cari, bro?"
Kini giliran Rudi yang mematung. Menunduk dan terdiam. Aku pun sama. Suasana kafe yang ramai mendadak seolah menghening. Ngelangut.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H