Kini, Rudi di hadapanku. Dia mencecarku dengan rangkaian pertanyaan yang meledak-ledak. Ya, ledakan itu telah dimulai sejak Arin menghadiahinya sebuah pertanyaan yang teramat mengejutkan. Bukan hanya karena isi pertanyaan yang mungkin melebihi perkembangan usianya, tetapi juga tak pernah sebenar-benarnya terbayangkan di kepala Rudi sebelumnya.
"Aku terlena. Aku telah salah sangka, menyangka anak-anaku bahagia dengan kecukupan banyak hal. Padahal aku sudah bekerja amat keras, melebihi yang lain, membanting-tulangkan ragaku demi membeli kebahagiaan untuk keluargaku. Apa yang salah dengan aku, bro? apakah cara kerjaku tak halal? Demi Tuhan, aku tak pernah sekalipun korupsi, nilep uang kantor sekecil apapun," jelasnya berapi-api.
Aku mematung di depannya. Cukup lama. Bukan tak menghiraukan kegelisahannya, tapi memberinya waktu menumpahkan segala kemelut yang lalu lalang di kepalanya. Benar saja, Rudi terus menyerocos, meski air mata tak luput dari mata lelakinya. Dia seolah menyesali situasi, tetapi sekaligus berjuang keras membela apa yang telah diperjuangkannya selama ini.
"Tidak ada yang salah dengan bekerja dan memburu uang. Menjadi kaya. Tidak ada yang keliru dengan workaholic-mu, kerjamu tetap halal. Tapi bro, tidak semua hal yang halal otomatis mendatangkan berkah," timpalku.
Rudi mengusap mata dan pipinya. Mencoba serius mencerna pendapatku. Dia seperti sedang menahan diri isi kepala yang meronta-ronta. "Apa itu berkah, bro? Bukankah aku sudah kerja keras sesuai anjuran agama, demi menafkahi anak istri. Bukankah aku sudah menyisihkan sebagian penghasilanku untuk zakat dan sedekah? Bukankah semua kebutuhan anak istriku nyaris terpenuhi, lalu apa berkah yang kau maksud? Bilamana berkah menyelimuti rumah kami?," cecarnya, seolah sedang membantah pernyataanku.
"Loh, aku sedang tidak menghakimimu, bro. Aku sendiri sedang dan terus mencari keberkahan, karena ia tak akan usai, tak mungkin konstan. Tapi simpelnya, berkah itu kualitas yang menenangkan, membahagiakan. Bukankah kualitas ini yang sedang kita cari, bro?"
Kini giliran Rudi yang mematung. Menunduk dan terdiam. Aku pun sama. Suasana kafe yang ramai mendadak seolah menghening. Ngelangut.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H