Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Memburu Berkah (1)

22 Mei 2019   20:39 Diperbarui: 22 Mei 2019   21:07 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kini, Rudi di hadapanku. Dia mencecarku dengan rangkaian pertanyaan yang meledak-ledak. Ya, ledakan itu telah dimulai sejak Arin menghadiahinya sebuah pertanyaan yang teramat mengejutkan. Bukan hanya karena isi pertanyaan yang mungkin melebihi perkembangan usianya, tetapi juga tak pernah sebenar-benarnya terbayangkan di kepala Rudi sebelumnya.

"Aku terlena. Aku telah salah sangka, menyangka anak-anaku bahagia dengan kecukupan banyak hal. Padahal aku sudah bekerja amat keras, melebihi yang lain, membanting-tulangkan ragaku demi membeli kebahagiaan untuk keluargaku. Apa yang salah dengan aku, bro? apakah cara kerjaku tak halal? Demi Tuhan, aku tak pernah sekalipun korupsi, nilep uang kantor sekecil apapun," jelasnya berapi-api.

Aku mematung di depannya. Cukup lama. Bukan tak menghiraukan kegelisahannya, tapi memberinya waktu menumpahkan segala kemelut yang lalu lalang di kepalanya. Benar saja, Rudi terus menyerocos, meski air mata tak luput dari mata lelakinya. Dia seolah menyesali situasi, tetapi sekaligus berjuang keras membela apa yang telah diperjuangkannya selama ini.

"Tidak ada yang salah dengan bekerja dan memburu uang. Menjadi kaya. Tidak ada yang keliru dengan workaholic-mu, kerjamu tetap halal. Tapi bro, tidak semua hal yang halal otomatis mendatangkan berkah," timpalku.

Rudi mengusap mata dan pipinya. Mencoba serius mencerna pendapatku. Dia seperti sedang menahan diri isi kepala yang meronta-ronta. "Apa itu berkah, bro? Bukankah aku sudah kerja keras sesuai anjuran agama, demi menafkahi anak istri. Bukankah aku sudah menyisihkan sebagian penghasilanku untuk zakat dan sedekah? Bukankah semua kebutuhan anak istriku nyaris terpenuhi, lalu apa berkah yang kau maksud? Bilamana berkah menyelimuti rumah kami?," cecarnya, seolah sedang membantah pernyataanku.

"Loh, aku sedang tidak menghakimimu, bro. Aku sendiri sedang dan terus mencari keberkahan, karena ia tak akan usai, tak mungkin konstan. Tapi simpelnya, berkah itu kualitas yang menenangkan, membahagiakan. Bukankah kualitas ini yang sedang kita cari, bro?"

Kini giliran Rudi yang mematung. Menunduk dan terdiam. Aku pun sama. Suasana kafe yang ramai mendadak seolah menghening. Ngelangut.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun