Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Memburu Berkah (1)

22 Mei 2019   20:39 Diperbarui: 22 Mei 2019   21:07 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi Rudi, apa yang dipunyainya kini sudah lebih dari cukup. Di usianya yang baru menginjak kepala empat, dia telah mempersembahkan anak dan kedua putrinya sebuah hunian yang cukup mewah. Pun dengan kebutuhan sandang, pangan, hingga entertaint, semuanya tercukupi. Statusnya sebagai eksekutif muda dengan gaji hampir 25 kali lipat dari gajiku, cukuplah menjadi penanda kesuksesannya di usia muda.

Tetapi jangan salah, semua kesuksesan itu diperoleh dengan pengorbanan yang tak sedikit juga. Maklum, sejak mentas kuliah sekian tahun silam, Rudi adalah penganut workaholic. Semangat kerja kerasnya pula yang membuat dia terkesan kurang gaul, kurang hiburan, dan berwajah serius, sebagian waktunya didedikasikan untuk bekerja. Tetapi kini, Rudi boleh berbangga pada teman-temannya, bahwa hasil tak pernah mengkhianati proses, kesuksesan teramat setia dengan pengorbanan.

Itu cerita setahun lalu, sebelum Rudi akhirnya menginsafi bahwa kesuksesannya tak serta merta bisa membeli kebahagiaan. Kini dia justru tengah berjuang untuk membayar banyak waktu yang hilang untuk istri dan terutama kedua putrinya yang masih belia. Titik baliknya tak pernah sedikitpun dibayangkan Rudi sebelumnya. Dia yang terbiasa berangkat di pagi buta saat anak-anaknya belum terjaga dan pulang kerja di malam hari di mana dua buah hatinya telah terlelap. Ironisnya, waktu akhir pekan pun jarang sekali bisa dia habiskan untuk putri-putrinya. Posisinya di direksi perusahaan menuntutnya sering dinas luar, entah mengontrol perusahaan cabang atau menemui klien.

Suatu hari di akhir pekan, saat Rudi terburu-buru mengejar jadwal penerbangan, tiba-tiba tangannya ditarik Arin, putri bungsunya yang masih kelas 3 SD. Awalnya Rudi marah karena bisa terlambat sampai di air port. Tetapi mendadak takut saat anaknya tersedu. "Oke, Papah kasih kamu waktu 10 menit ya sayang,"

Anaknya mengamini dengan anggukan. "Lima menit saja,Pah. Arin cuma mau tanya, apakah uang simpanan Papah sudah banyak?"

Rudi kaget sekaligus bingung dengan isi pertanyaan anaknya. Kenapa dia mendadak mengajukan pertanyaan seserius itu, yang tentu butuh serius pula menyusun jawabannya. Apakah ada kebutuhan atau keinginan Arin yang belum bisa aku penuhi?

"Tenang sayang, uang Papah masih cukup untuk membiayai hidup kamu, kakakmu, dan ibumu. Tabungan ayah juga insya Allah cukup untuk masa depan pendidikanmu. Bahkan, kita kan kadang masih suka ke panti asuhan untuk kasih bantuan. Kenapa, ada apa sayang, kok tumben tanya begitu?"

"Papah, Arin tidak butuh uang banyak. Arin, Kak Aisya cuma mau setiap malam Papah bisa di meja makan bareng Arin, Kak Aisya, dan Mamah.."

Kata-kata itu seperti menggantung. Rudi paham, sangat paham apa yang dimaksud dan diingini Arin. Tapi siapa yang mengajarinya? Atau kenapa mendadak dia pertanyakan sesuatu yang bahkan Rudi sendiri sampai-sampai tak menyadari sebelumnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun