Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Puasa, tentang Intimnya Hamba dengan Tuhannya

15 Mei 2019   23:52 Diperbarui: 15 Mei 2019   23:56 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KEJADIANNYA seringkali berulang, ketika mengajak si Bontot bepergian. Entah karena solider ataukah butuh teman, dia selalu mensyaratkan satu hal agar mau pergi: ikutsertakan kakak ! "Kalau kakak ga ikut, adek gak mau pergi !," begitu rajuknya.

Terkadang saat diajakserta ke rumah tantenya, pun rajukan yang sama akan disampaikannya. Dia baru bergegas ketika kami memastikan permintaannya terpenuhi. "Ayo Dek, kakak dan sepupumu sudah di sana loh,"

Lantas, apa kaitannya dengan puasa Ramadhan? Mari tilik cara Allah memerintahkan berpuasa.

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (Al Baqoroh: 183).

Tuhan seolah ingin mengatakan; kalau kamu sungkan atau merasa diberatkan dengan puasa, umat sebelum kamu sudah melakukannya, bahkan dengan ketentuan yang mungkin lebih berat. Kini, hampir semua agama dan kepercayaan mengenal laku puasa. Melalui diksi 'Sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu', Allah semisal ingin menyampaikan kedekatan dengan hamba yang menerima perintah.

Allah memastikan setiap perintah-Nya sesuai dengan kemampuan hamba, bahkan menyesuaikan zamannya. Umat akhir zaman yang berusia lebih pendek, tuntunan ibadanya juga lebih ringan. Shalat wajib yang hanya lima waktu sehari, hingga puasa Ramadhan yang hanya sejak fajar sampai maghrib. Meski lewat puasa Allah ingin mendidik keinginan dan nafsu manusia agar tak liar, agar tak tamak, nyatanya puasa itu tetap dalam batas kemampuan manusia.

Bahkan, kalaupun ada yang sedang diberatkan seandainya tetap berpuasa, Allah memberi rukshoh, dispensasi, misal untuk wanita hamil dan menyusui, yang sakit, yang sedang bepergian, diperbolehkan untuk tak berpuasa, seperti disinggung dalam ayat lanjutan di Al Baqoroh: 184. Tetapi di penghujung ayat itu, Allah memberi penegasan: "Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".

Kalimat tersebut juga penegas kedekatan, bahwa selaku Khaliq, pencipta, Dia menegaskan lebih tahu apa yang dibutuhkan makhluk ciptaan-Nya: manusia. Kalau Honda pernah memproduksi serie jazz dengan kunci rahasia, maka saat mobil tak bisa dijalankan, tanyalah pada Dealer Honda, bukan Toyota atau Mazda. Mereka yang memproduksi, mereka pula yang memahami seluk beluk suku cadang dan system operasinya.

Saat orang sukses berpuasa, yakni memperkuat kendali atas keinginannya, maka dia akan semakin dekat dengan Tuhannya. Karena nafs atau keinginan-keinginan yang bisa menjelma menjadi tuhan itu kalah prioritas dari Tuhan hakiki. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah bahkan menegaskan bagaimana spesialnya ibadah puasa bagi keintiman hamba dengan-Nya.

"Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung," (HR Bukhari)

Uniknya lagi, masih dalam ayat rangkaian puasa, Allah juga menyinggung soal kedekatan dengan hamba-Nya.

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Al Baqoroh: 186).

Maka ibadah puasa sejatinya menjadi ruang keintiman hamba dengan Tuhannya. Kedekatan inilah yang akan melahirkan kualitas tertinggi yang dituju puasa, yakni taqwa, sebuah kualitas untuk menghadirkan Allah kapan dan di manapun. Dia selalu menghadirkan Tuhan, baik saat di masjid, di rumah, di tempat kerja, di jalanan, Allahlah yang terkenang. Maka tutur dan laku yang hadir hendaklah yang sesuai tuntunan Tuhan.

Kenapa? Karena seperti kata Nabi Saw, kualitas iman seorang hamba tak pernah stabil, pasti pasang surut. Di masjid mungkin dia mengingat Allah, tetapi begitu hendak pulang sendalnya hilang, dia mengumpat dan menyumpahi pencurinya agar terkena azab. Saat itu, Tuhan sedang hilang dari dirinya.

Siapa yang berpuasa dengan baik, mendidik nafsunya dengan optimal, dia akan dekat dengan Tuhannya. Dan dari kedekatan itulah manusia semestinya meraih kebahagiaan. Kapan orang berpuasa bahagia, pertama saat berbuka. Bahwa dengan segelas teh dan satu potong gorengan, dia sudah bahagia. Nafsulah yang menuntunnya ingin membeli segala dan memenuhi meja makan saat berbuka. Meski semua itu beum tentu termakan.

Kebahagiaan kedua dan inilah puncak dari kedekatan sejati seorang hamba, tak lain saat berjumpa dengan Tuhannya kelak. Itulah puncak dari keindahan dan kebahagiaan yang tak terbayangkan. 

Dekat tak melulu terkait dengan jarak physically. Seorang perempuan yang merindukan kekasihnya nun jauh di sana, maka keramaian di depannya serasa menjauh. Karena yang sedang intim di hatinya adalah lelaki di seberang sana. Wallahu a'lam. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun