AKUÂ memilih istirahat di warung kopi. Mengistirahatkan penat setelah lebih dari 4 jam berkendara menyusuri jalur pantura. Sambil menyeruput kopi, aku membayangkan kejadian sekitar 30 menit lalu. Seorang gadis jelita berperawakan tinggi semampai memberhentikan motorku dengan lambaian tangannya.
Agh, aku sempat Gede Rasa. "Manis tenan parasnya. Ramah pula sikapnya," batinku. Kutaksir usianya belum genap 25, ya kisaran 21 an lah. Gadis itu berkulit putih, tingginya nyaris menyamaiku yang 170 an centimeter lebih.
Dia meminta diboncengkan ke sebuah areal persawahan yang bersebelahan dengan makam. Tempatnya lumayan jauh, dari jalur pantura masuk ke utara menuju arah pantai. Hari tengah beranjak senja saat kuturunkan dia di sebuah sudut persawahan, atas pemintaannya.
Aku hendak memutar balik motorku, saat tiba-tiba perempuan itu memelukku dari belakang. "Terima kasih, Mas. Kalau tidak ada kamu, mungkin aku susah pulang, Mas," tuturnya sambil melepas pelukan dan beranjak meninggalkanku.
Pelukan dan sapanya masih membekas jelas. Benar-benar masih hangat, fresh from the oven. Â Wajahnya bergentayangan di kepalaku.
"Mas, kopinya diminum, keburu dingin loch," kata simbok pemilik warung sambil menepak bahuku. Lamunanku pun buyar.
"Masih muda kok nglamunan, Mas. Nanti kesambet loch," sambung si Mbok. Agh, si Mbok ada-ada saja, masa aku bisa kesambet.
"Masnya lagi perjalanan jauh ya, naik motor lagi. Kalau nglamun di jalan nanti kecelakaan piye jal," masih kata simbok.
"Agh, simbok bisa aja. Kan ini lagi ngopi, biar nggak ngantuk," timpalku.
"Bener loh, Mas. Tadi aja ada cewe cantik mati ketabrak. Katanya sih naik motor sambil melamun," ujar simbok mengundang keseriusanku.
"Padahal anaknya masih gadis, putih dan cantik, tinggi lagi. Itu anak kampung di utara sana, dekat arah pantai," sambung simbok.
Aku langsung terbelalak, menyimak ciri si gadis yang dituturkan simbok. Termasuk asal kampungnya, kesemuanya kok mirip dengan gadis yang tadi kuantar. Â
"Kok mirip ya. Lantas, siapakah gadis yang 30 menitan lalu baru saja kuantar pulang. Kenapa juga tidak ke rumah, tetapi persawahan dekat makam?" batinku sambil menenangkan tubuhku yang tiba-tiba menggigil. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H