Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ingat, Indonesia Tak Mungkin Tegak dengan Sendirinya

31 Maret 2018   16:03 Diperbarui: 31 Maret 2018   16:09 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang mampu menyangkal dari fakta, bahwa sistem suksesi kepemimpinan langsung, one man one vote, telah melahirkan dampak sosial yang tak mampu dikendalikan. Pun dengan mekanisme suara terbanyak, yang konon disebut lebih demokratis, nyata-nyata telah menjadikan 'politik uang' sebagai tradisi baru rakyat, melahirkan politisi-politisi karbitan, yang mungkin tak pernah kita ketahui rekam jejaknya secara jelas.

Kini, sebagian orang mulai berpikir, bahwa ada benarnya para founding fathers republik ini merumuskan demokrasi permusyawaratan sebagai demokrasi ala Indonesia. Karena tidak semua sistem dan tatanan barat harus diterima secara latah sebagai kebenaran. Semestinya, demokrasi permusyawaratan tetap kita lestarikan sebagai bagian dari identitas politik kita. Karena kita terlanjur memahami, praktek Pemilu Kepala Daerah Langsung, telah menguras energi yang teramat besar, pemborosan keuangan yang bermatarantai pada korupsi, ongkos sosial yang teramat mahal, karena simpul-simpul kebersatuan yang terus diringkihkan oleh perpecahan.

Carut marut kebangsaan itu menandastegaskan sinyalemen Bung Karno di atas, bahwa lawan terberat adalah bangsa sendiri. Tetapi permasalahan internal itu menjadi kian rumit karena berlangsung dalam konteks dunia yang mengglobal.

Dan problem kebangsaan kita berkaitan dengan dunia yang mengglobal ini adalah perebutan identitas, yang memunculkan kecenderungan krisis identitas anak bangsa.

Generasi kini dan nanti, sejatinya menghadapi tantangan berbangsa yang jauh lebih berat. Adalah fenomena globalisasi yang tidak sepenuhnya menjadi berkah, tetapi juga musibah bagi identitas kebangsaan kita.

Jangan tanya tentang nasib Pancasila, yang terus kita jauhkan dari kehidupan berbangsa. Bahkan kita seolah-olah menjadi malu untuk berindentitas Indonesia.

Mendadak kita merasa kecolongan, ketika lagu daerah kita diklaim sebagai milik tetangga, saat seni Reog Ponorogo dibanggakan negeri serumpun, marah ketika saudara-saudara kita di perbatasan direkrut menjadi pasukan keamanan Malaysia. Kita merasa kecolongan, justru di saat kita masih asyik masyuk menelan kemoderenan. 

Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai wujud anti-pati terhadap segala perabot kemoderenan. Karena perubahan adalah keniscayaan. Tetapi menerima hal-hal baru tidak berarti meninggalkan hal-hal lama. Sebuah kaidah ushul fiqih menyatakan: "Pertahankan hal-hal lama yang baik, dan ambil hal-hal baru yang lebih baik". Artinya, segala hal yang terlanjur kita anggap sebagai tradisional, sejatinya bisa dikawinkan dengan hal-hal baru yang lebih metodis.

Kedua, di tengah keterpurukan yang mengepung segala lini bangsa, maka perlu dibangun optimisme kebangsaan yang serius. Kuncinya adalah trust, saling percaya antar elemen bangsa. Sudah waktunya, prasangka dan dendam kita sudahi, jangan sampai terwariskan ke anak cucu kita. Tanpa trust, sebagai bangsa kita akan selalu menghadapi kesulitan yang sama dalam menyongsong kemajuan.

Sebab, bangsa ini didirikan dengan simpul yang tak bisa dikatakan sangat kuat. Kita bersatu karena dorongan nasib yang sama, pernah merasakan penindasan penjajahan sekian ratus tahun. Maka tak heran, disintegrasi bangsa selalu menjadi potensi yang mengancam keutuhan NKRI.

Maka komitmen untuk saling percaya adalah rajutan paling efektif bagi upaya membangun bangsa dari keterpurukan. Kepercayaan rakyat terhadap penguasa, kepercayaan penguasa terhadap rakyat, kepercayaan anta elit bangsa, dan kepercayaan horizontal sesama elemen bangsa. Mari membangun optimisme agar generasi mendatang memiliki mimpi untuk membangun Indonesia. Wallahu a'lam***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun