APAKAH Indonesia sebagai negara bangsa berpotensi hancur? Agh, jangan sepesimis itu melihat masa depan Indonesia, kata anak bangsa yang optimis. Tapi, tidak ada jaminan bahwa Indonesia tidak akan hancur bukan, seloroh mereka yang pesimis.
Sudah, cukup! Daripada meributkan potensi hancur atau bertahannya Indonesia di masa mendatang, akan lebih baik semua anak bangsa menginsafi berbagai problem kebangsaan mutakhir, justru untuk menegaskan bahwa Indonesia tidak mungkin berdiri tegak dengan sendirinya. Harus ada tangan-tangan yang tak henti dan tak lelah menjaga dan merawat sehingga Indonesia tetap ada.
"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri"(Bung Karno)
Bahkan Bung Karno yang bersama tokoh bangsa lainnya harus merasakan sulitnya masa dar-der-dor mewujudkan kemerdekaan, masa paling rumit merumuskan ideologi negara, toh tetap memberikan isyarat visionernya tentang potensi dinamika internal kebangsaan sepeninggalnya yang tak kalah sulit, lebih sulit malah, dan menentukan nasib keindonesiaan itu sendiri.
Isyarat itu bisa bermakna; kalau di zamanku yang serba miskin sumber daya saja kita bisa mengusir penjajah dan merdeka, kenapa di era yang penuh dengan kemudahan engkau justru tergopoh-gopoh menjaga ketahanan bangsamu?
Kedua, hukum sejarah selalu berulang. Siapa yang tak menyelami masa lalu, maka mereka akan gagal menaklukan masa depan. Masih kata Soekarno, bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai menghargai jasa pahlawannya.
Hukum dimaksud adalah sebagaimana disimpulkan dalam adagium bijak: Menjaga (kemerdekaan) adalah lebih sulit dari upaya merebutnya. Maka penggalan kedua kalimat Bung Karno relevan kita baca: perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.
Ya, problem kebangsaan terbesar kita saat ini adalah kian ringkihnya ikatan sosial (social bond) kita sebagai bangsa. Kita tumbuh menjadi bangsa yang mewarisi dan melestarikan curiga dan dendam. Orde lama yang dipimpin Soekarno, yang melahirkan Pancasila dan UUD 1945, ditumbangkan oleh Orde Baru, yang mengklaim sebagai pelaksana Pancasila yang konsekuen.
Orde Baru pun ditumbangkan untuk selanjutnya muncul orde reformasi. Lantas, semua-mua yang berasal darinya, pun diberangus, dituding sebagai produk yang tak demokratis. Seolah-olah, semua produk masa lalu kita simpulkan sebagai kejahatan politik.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, sikap saling curiga itu bahkan serasa kian mewujud nyata. Polarisasi dua arus besar terus dirawat dengan berbagai bumbu provokatif yang saling menegasikan. Nasionalisme, NKRI, Pancasila, hingga agama diperrebutkan untuk saling mengklaim dan mendakwa.
Sistem ketatanegaraan terus ditambal sulam. Sejak reformasi, betapa banyak lembaga negara berdiri dengan fungsi yang rentan tumpang tindih. Wujud akut dari bongkar pasang sistem kenegaraan itu tentu ada di politik. Ada kelatahan berdemokrasi dengan kecenderungan haluannya yang liberal.
Siapa yang mampu menyangkal dari fakta, bahwa sistem suksesi kepemimpinan langsung, one man one vote, telah melahirkan dampak sosial yang tak mampu dikendalikan. Pun dengan mekanisme suara terbanyak, yang konon disebut lebih demokratis, nyata-nyata telah menjadikan 'politik uang' sebagai tradisi baru rakyat, melahirkan politisi-politisi karbitan, yang mungkin tak pernah kita ketahui rekam jejaknya secara jelas.
Kini, sebagian orang mulai berpikir, bahwa ada benarnya para founding fathers republik ini merumuskan demokrasi permusyawaratan sebagai demokrasi ala Indonesia. Karena tidak semua sistem dan tatanan barat harus diterima secara latah sebagai kebenaran. Semestinya, demokrasi permusyawaratan tetap kita lestarikan sebagai bagian dari identitas politik kita. Karena kita terlanjur memahami, praktek Pemilu Kepala Daerah Langsung, telah menguras energi yang teramat besar, pemborosan keuangan yang bermatarantai pada korupsi, ongkos sosial yang teramat mahal, karena simpul-simpul kebersatuan yang terus diringkihkan oleh perpecahan.
Carut marut kebangsaan itu menandastegaskan sinyalemen Bung Karno di atas, bahwa lawan terberat adalah bangsa sendiri. Tetapi permasalahan internal itu menjadi kian rumit karena berlangsung dalam konteks dunia yang mengglobal.
Dan problem kebangsaan kita berkaitan dengan dunia yang mengglobal ini adalah perebutan identitas, yang memunculkan kecenderungan krisis identitas anak bangsa.
Generasi kini dan nanti, sejatinya menghadapi tantangan berbangsa yang jauh lebih berat. Adalah fenomena globalisasi yang tidak sepenuhnya menjadi berkah, tetapi juga musibah bagi identitas kebangsaan kita.
Jangan tanya tentang nasib Pancasila, yang terus kita jauhkan dari kehidupan berbangsa. Bahkan kita seolah-olah menjadi malu untuk berindentitas Indonesia.
Mendadak kita merasa kecolongan, ketika lagu daerah kita diklaim sebagai milik tetangga, saat seni Reog Ponorogo dibanggakan negeri serumpun, marah ketika saudara-saudara kita di perbatasan direkrut menjadi pasukan keamanan Malaysia. Kita merasa kecolongan, justru di saat kita masih asyik masyuk menelan kemoderenan.Â
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai wujud anti-pati terhadap segala perabot kemoderenan. Karena perubahan adalah keniscayaan. Tetapi menerima hal-hal baru tidak berarti meninggalkan hal-hal lama. Sebuah kaidah ushul fiqih menyatakan: "Pertahankan hal-hal lama yang baik, dan ambil hal-hal baru yang lebih baik". Artinya, segala hal yang terlanjur kita anggap sebagai tradisional, sejatinya bisa dikawinkan dengan hal-hal baru yang lebih metodis.
Kedua, di tengah keterpurukan yang mengepung segala lini bangsa, maka perlu dibangun optimisme kebangsaan yang serius. Kuncinya adalah trust, saling percaya antar elemen bangsa. Sudah waktunya, prasangka dan dendam kita sudahi, jangan sampai terwariskan ke anak cucu kita. Tanpa trust, sebagai bangsa kita akan selalu menghadapi kesulitan yang sama dalam menyongsong kemajuan.
Sebab, bangsa ini didirikan dengan simpul yang tak bisa dikatakan sangat kuat. Kita bersatu karena dorongan nasib yang sama, pernah merasakan penindasan penjajahan sekian ratus tahun. Maka tak heran, disintegrasi bangsa selalu menjadi potensi yang mengancam keutuhan NKRI.
Maka komitmen untuk saling percaya adalah rajutan paling efektif bagi upaya membangun bangsa dari keterpurukan. Kepercayaan rakyat terhadap penguasa, kepercayaan penguasa terhadap rakyat, kepercayaan anta elit bangsa, dan kepercayaan horizontal sesama elemen bangsa. Mari membangun optimisme agar generasi mendatang memiliki mimpi untuk membangun Indonesia. Wallahu a'lam***
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H