TAHUN 1998. Aku duduk di kelas 3 SMP dan bersiap menyongsorng Eevaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Ada yang masih ingat dengan istilah itu? Jika tak keliru, itu menjadi tahun pertama diberlakukkannya model Lembar Jawaban Komputer (LJK) untuk EBTANAS. Tak heran, para guru sangat  esktra sibuk mempersiapkan perubahan dari manual ke komputer  itu sejak jauh-jauh hari, minggu, dan bahkan bulan.
Tak hanya pendalaman materi untuk mata pelajaran yang diujikan melalui jam tambahan belajar sejak awal tahun pelajaran. Para guru juga disibukkan dengan pemberian bimbingan teknis tentang bagaimana mengisi jabawan di LJK. Sesie ini bahkan terkesan lebih menyita waktu jam tambahan belajar ketimbang materi pelajaran itu sendiri. Maklum, para guru mungkin sedikit panik, anak-anak didiknya gagal memperlakukan LJK dengan baik yang berakibat dianulirnya jawaban.
"Hati-hati melingkarinya, jangan sampai melebihi lubang jawaban, apalagi menempel ke jawaban yang lain," begitu pesan guru saat mengaarahkan bagaimana menjawab soal pilihan ganda di LJK.
Salah seorang guru memberi kiat agar waktu menyelesaikan soal EBTANAS bisa efektif. Katanya, jangan isi dulu soal pilihan ganda, cukup tandai jawabannya di lembar soal. Setelah itu, kerjakan dulu soal esainya. Kalau sudah selesai, baru jawaban pilihan ganda diselesaikan.
Tibalah saat EBTANAS itu. Semua trikk dan kiat itu kuingat-ingat betul di kepala. Suasananya tegang. Ingat, jawaban benar bisa dianggap salah hanya karena cara melingkari jawaban di LJK yang tak benar.
Dari enam pelajaran yang diujikan, hanya matematika yang kuingat detailnya. Aku memulai membaca soal pilihan ganda satu persatu, sambil menandai jawabannya di lembar soal. Rampung, segera kujawab soal esai, tentu langsung di LJK. Entah kenapa, aku merasa bisa menjawab seluruh soal matematika, baik pilihan ganda maupun esainya.
Baru empat lima soal pilihan ganda yang kupindahkan jawabannya ke LJK ketika pengawas ujian mengingatkan kami. "Waktu tinggal lima menit !"
Duarrr...Paniklah aku. Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan seluruh jawaban, sementara aku dituntut ekstra hatii-hati saat menghitami lingkar jabawan dengan pensil 2B. Keinginan menyelesaikan dengan cepat dan keharusan melingkari jawaban dengan hati-hati seperti tarik-menarik di kepalaku. Dan...teeeettt....
"Ya, waktunya habis, silahkan kumpulkan ke depan !" kata pengawas.
Uft, aku hanya bisa berjalan lemas ke meja pengawas. Belum separuh soal pilihan ganda yang kuselesaikan. Entahlah, berapa nilai EBTANAS matematikaku nanti.
Selang sebulan, kurang lebih, hasil EBTANAS diumumkan di papan mading sekolah. Benar saja, nilai matematikaku hanya 5,5. Herannya, itu jadi nilai tertinggi untuk mata pelajaran yang sama di sekolah kami. Tapi entah kenapa, aku kurang begitu gembira. Ingatanku kembali melayang ke satu bulan lalu.
"Agh, coba saja saat itu waktunya belum habis, paling tidak nilai matematikaku tak sejelek ini. Andai saja waktunya diperpanjang sedikit saja, tentu aku bisa mendapat nilai jauh dari ini"
***
Peristiwa 20 tahun lalu itu masih kuingat sampai kini. Jujur, aku kesulitan menghapus ingatan itu, meski selalu berakhir dengan penyesalan. Yang aku bayangkan, seandainya bisa mengulang kesempatan itu, tentu aku bisa menyelesaikan jawaban lebih cepat. Tak harus panik, tanpa mesti was-was jabwannya salah dibaca komputer.
Dari pengalaman itulah aku selalu bertanya tentang konsep kesempatan kedua. Adalah kesempatan kedua itu bagi manusia? Atau, adakah yang bisa memberi penjelasan bilamana kesempatan kedua itu datang?
Yang kutahu, kesempatan kedua lebih sering merujuk pada dua pengalaman. Pertama, orang yang nyaris tewas dalam sebuah insiden, sehingga hidupnya setelah itu dianggap sebagai kesempatan kedua. Kedua, Orang yang masa lalunya sangat kelam lantas memilih bertaubat dan membuka lembaran kedua. ***
____________
Nb: BTW, saat itu hasil nilai rata-rata EBTANAS di Kabupaten Bogor dikabarkan jeblok. Kata Kepala Sekolah, nilai EBTANAS ku masuk peringkat 4 terbaik se kabupaten. Aku senang, tapi penyesalan itu tak mau juga hilang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI