Berawal dari 2019 silam, tidak sengaja saya membaca salah satu website terbaik yang pernah saya temui. Website tersebut memperkenalkan sebuah komunitas tari berbasis inklusi.
Hal ini berarti siapa saja dapat menjadi bagian dari komunitas tersebut. Mulai dari anak-anak, remaja, bahkan orang tua. Tak hanya itu, bahkan saudara-saudara kita yang difabel pun dapat menjadi keluarga dan mengikuti segala aktivitas komunitas dengan nyaman.
Demikian link website (https://nalitari.org/) yang beberapa waktu lalu membuat hati saya tergetar saat mengunjungi lamannya. Saya berinisiatif untuk mencarinya di salah satu platform sosial media, instagram.
Hati saya kembali tersentuh melihat beberapa rekam kegiatan yang dilakukan bersama dengan teman-teman difabel. Kegiatan tersebut terlihat seperti nyaman, menyenangkan, dan seperti menyampaikan pesan kesetaraan.
Kurang lebih dua minggu setelah saya banyak mencari informasi tentang komunitas ini, saya menemukan sebuah agenda yang akan diadakan dalam jangka waktu satu minggu.
Workshop Nalitari: Tari Inklusi. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, tanpa basa-basi saya segera mendaftarkan diri. Lagi, saya merasa tenggelam dalam lautan manis kesetaraan saat mengikuti kegiatannya.
Workshop tari inklusi tersebut mengajarkan saya banyak hal. Seketika saya bertanya-tanya, "Ke mana saja selama ini? Apa yang selama ini saya lalui? Berproses soal apa? Bersikap untuk hal apa?"
Tertampar sekali setelah mengetahui bahwa masih banyak orang-orang yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, tapi benar-benar memperjuangkan jua hak-hak yang lain, menyelamatkan sesama daripada marginalisasi sistem tak kasat mata.
PERMATA DI TENGAH LAUT ANGKARA
Layaknya menemu oase di padang pasir, kurang lebih demikianlah perasaan menemu Nalitari. PDKT (pendekatan) saya tidak hanya berujung pada pengenalan, tetapi berangsur-angsur membangun cinta pada ruang lingkup inklusi. Hal yang selama ini sama sekali belum pernah saya lirik sedikit pun. Nalitari memupuk inklusivitas pada diri saya.
Berangkat dari kesadaran inklusif tersebut, seketika segala definisi "normal" yang ada di kepala pun memuai. Ternyata, "normal" tidak tentang kulit yang putih, tubuh yang semampai, pipi yang tirus, bola mata yang bulat, bibir yang merona, kaki yang indah, lengan tanpa lemak berlebih, dan sebagainya. Tidak.
"Normal" terlalu sempit jika hanya dipadankan dengan hal-hal tersebut. Jika saja mau menguliti, pada akhirnya saya mayakini bahwa "normal" ialah adanya sikap penerimaan.
Memperjuangkan hak-hak sesama, menjunjung tinggi kesetaraan, dan menyadari betul bahwa setiap kita adalah insan yang tak sama. Tentu saja, karena perbedaan adalah niscaya. Setiap kita telahir istimewa.
"Normal" berarti mau untuk tidak memicingkan mata pada mereka yang hadir luar biasa, saudara difabel kita. "Normal" adalah sikap adil yang ditujukan pada siapa saja; tanpa melihat ia berjalan menggunakan kaki atau kursi roda, tanpa meremehkan mereka yang terlihat lebih lugu daripada seusianya, tanpa mengucilkan mereka yang tidak berkesempatan mendengar kicau burung saat senja, tanpa menertawakan mereka yang tidak bisa berkata dengan suara.
"Normal" adalah sikap adil dan bijak dengan landasan asas setara. Kehadiran mereka bukanlah dosa. Maka, atas dasar apa kita membuat dunianya nampak seperti neraka?
Semesta memang sebaik-baik mata-mata. Ia menuntun uluran tangan pada perkenalan dengan Nalitari, yang tidak hanya membuahkan kenang. Bagi saya, pertemuan ini bak menemu permata di tengah laut Angkara; menemu pejuang hak sesama di antara triliunan angkuh serta egoisme makhluk yang disebut manusia.
SATU DALAM BEDA
Sesuai dengan namanya, Nalitari. Komunitas ini bergerak di bidang seni, utamanya ialah seni tari. Bernafaskan contemporary dance, Nalitari mampu memutus mata rantai kesenjangan "pendewaan" fisik dan memberi insight baru terkait definisi "normal".
Kegiatan yang dilaksanakan dengan bahan bakar nurani ini benar-benar seperti magic. Fantastis mampu mengubah mindset saya secara drastis. Senyum tulus yang terkembang saat para founder mengarahkan gerak-gerak sederhana, menghardik fikiran saya; bahwa saudara-saudara kita yang luar biasa mampu dengan tanggap memahami dan mempraktikannya.
Ternyata, semuanya tidak pernah soal "tampak luar"-mu seperti apa. Melainkan apa yang menggugah jiwa dalam laksana. Nalitari telah membuktikannya.
Siapapun bisa dan berhak mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya. Pribadi angkuhlah yang membut kotak marginalisasi itu ada. Pribadi penuh angkara yang menjadi kabut bahwa siapapun dapat bergerak dan berkarya.
Nalitari seakan menjadi wadah bagi siapapun yang ingin mengekspresikan isi hatinya, menyalurkan emosi sepenuh jiwa. Pada setiap tempo iringannya, kami menyatu dalam beda.
Nalitari menyadarkan saya bahwa tidak ada satupun manusia di muka bumi ini yang tidak penting. Semuanya memiliki peranan masing-masing. Layaknya sebuah rumah, tidak lantas dibangun dengan satu intrumen saja.
Harus ada yang menjadi dinding, pagar untuk menjaga, harus ada yang menjadi atap untuk melindungi, bahkan harus ada yang bersedia menjadi lantai untuk pijakan. Tidak ada yang tidak berguna, tidak ada yang tidak bisa apa-apa. Tidak ada yang harus dianak-tirikan sebab tak sama; satu dalam beda.
ARAH KEMBANG
Jika hanya sekedar hidup, virus Corona pun hidup. Boleh jadi, sebaik-baik manusia ialah yang berusaha menggunakan hidupnya menuju berkat. Bilalah sudah tersentuh inklusivitasnya, maka jangan hanya berhenti pada kesadaran. Berusahalah untuk menjadi salah satu pionir perubahan. Agen pergerakan menuju masyarakat yang lebih kritis dan logis.
Untuk meningkatkan intelektualitas, bergerak di bidang seni saja tidak cukup. Banyak sekali "kursi" aspek-aspek yang kosong dan perlu diduduki. Daripada hanya berkomentar dan mengutuk ketidak-adilan, lebih baik berdiri dan ambil peran, bukan?
Menuju pribadi yang kritis dan logis tentu tidak berangkat dari tangan kosong. Seringkali perubahan dilatar belakangi oleh pengetahuan. Salah satu pendekatan yang dibutuhkan ialah memperkenalkan masyarakat dengan dunia literasi.
Tak hanya seni, seharusnya bidang sastra pun dapat berkembang secara inklusif. Tergerak dari dasar kesetaraan tadi, maka saya berniat untuk berusaha mendirikan taman baca masyarakat yang inklusif. Taman baca masyarakat yang memberi akses dan tempat nyaman bagi teman-teman difabel.
PUNCAK CAHAYA
Pada akhirnya, setiap harap adalah nyala dari gulita; cahaya.
Taman bacaan masyarakat yang saya impikan ialah bertempat di ruang lapang yang tidak begitu dekat dengan hiruk-pikuk kebisingan jalan. Berdiri sebuah bangunan kokoh klasik dengan sebuah pendopo terbuka di bagian depannya. Terdapat berbagai platform lift untuk memudahkan akses teman-teman difabel.
Tidak hanya fasilitas bangunan dan dekorasi, namun taman bacaan masyarakat ini tentu harus memiliki buku yang ditulis menggunakan huruf braille.
Taman bacan masyarakat ini juga diharapkan dapat menjadi tempat diskusi asyik. Hal ini ditujukan agar fikiran setiap kita dapat terus berkembang. Banyaknya sudut pandang yang sangat mungkin berbeda, tentu saja akan membuat kita tidak menjadi manusia dengan fix mindset.
Ke depannya, taman bacaan masyarakat diharapkan ini memiliki kegiatan-kegiatan aktif dan interaktif seperti pertunjukan dongeng anak, resensi buku, musikalisasi puisi, workshop kepenulisan, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan untuk pengaryaan sumber daya manusianya.
Semoga taman bacaan masyarakat yang diimpikan ini dapat terealisasi menjadi puncak cahaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H