Mohon tunggu...
Rahman Hakim
Rahman Hakim Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hak Angket Penyadapan SBY Meruyak, Polisi Melanggar Konstitusi?

4 Februari 2017   22:40 Diperbarui: 4 Februari 2017   22:51 1899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyadap adalah kejahatan serius. Lebih serius lagi jika yang disadap adalah Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan ulama besar sekaliber K.H Ma’ruf Amin. Jika kedua sosok besar itu saja dapat terkena penyadapan illegal, apalagi orang kebanyakan seperti kita.

Penyadapan illegal bukan hanya bertentangan dengan UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Telekomunikasi. Tetapi juga pelanggaran atas hak azasi manusia yang tercantum dalam konstitusi. Secara eksplisit hak tersebut diatur pasal 28 G (ayat 1) UUD 1945, yang menyebut “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Dengan begitu, konferensi pers SBY tempo hari bukan hanya ekspresi keresahan atas terinjak-injaknya hak privasi mantan orang nomor satu di negeri ini. Hal itu juga harus dilihat sebagai ujian sejauh mana politik negara dalam menegakan konstitusinya.

Patut disayangkan tanggapan dari aparat hukum atas kejadian ini. Polisi dan BIN menegaskan mereka tidak pernah menyadap SBY dan K.H Ma’ruf Amin. Provider telkomsel pun mengaku hal yang sama. Aksi lempar bola ini jelas mengecewakan publik karena sinyalemen penyadapan illegal sejatinya sudah terang benderang.

Ketika penasihat hukum Basuki Tjahya Purnama menekankan informasi perbincangan SBY dan K.H Ma’ruf Amin pada 10.16 WIB, serta dua konten perbincangan tersebut; patut diduga ada penyedapan illegal. Sanggahan bahwa informasi itu didapatkan dari berita liputan6.com mentah mengingat sebelum persidangan tidak tercatat ada berita dengan dua konten tersebut. Tragisnya, ketika publik menggugat informasi yang valid, penasihat hukum Ahok seolah-olah melecehkan persidangan dengan menyebut sumber informasi itu berasal dari Tuhan.

Mekanisme Hukum

Publik butuh penjelasan, bukan aksi lempar tanggungjawab.  Penyadapan illegal adalah pelanggaran hukum, jadi penyelesaiannya pun harus melalui mekanisme hukum. Apalagi yang dilanggar adalah peraturan perundang-undangan tertinggi dalam hukum di Indonesia, yakni UUD 1945. Adalah kewajiban aparat hukum harus bergerak cepat mengusut, bukan malah menonton kasus ini bergulir menjadi  bola panas di DPR.

Jika polisi tetap diam, ada tiga konsekuensi penilaian publik yang akan digantakan kepada polisi. Pertama, polisi telah melanggar hukum. Pasalnya penyadapan illegal berdasarkan UU ITE bukan merupakan delik aduan. Sehingga ada atau tidak ada laporan polisi harus mengusut. Kedua, polisi mengabaikan hak asasi manusia yang tertera di dalam konstitusi kita. Ketiga, penilaian bahwa polisi selama ini menganakemaskan Ahok akan kian membuncah.  

Mekanisme Politik

Perlu dicatat bahwa penyelesaian melalui mekanisme politik bukanlah jawaban atas keresahan publik atas penyadapan illegal. Mekanisme ini mencuat akibat aparat hukum terkesan enggan bertindak. Mengingat bahwa hukum tidak dapat diintervansi oleh pihak manapun, publik yang resah pun mencari alternatif penyelesaian secara politik.  Artinya, mekanisme politik bukan solusi utama,  melainkan suatu alternatif yang ditujukan agar pemerintah dapat kembali menjunjung tinggi konstitusi.

Terlebih deras dugaan penyadapan illegal ini terkait dengan politik, yaitu merekam informasi terkait strategi dan taktik pemenangan Agus Harimurti Yudhoyono –Sylvia Murni dalam pilkada DKI Jakarta. Kita sama-sama paham, SBY sebagai mahaguru strategi politik tentu menjadi salah satu pihak yang akan dimintai pandangannya terkait sepak-terjang paslon no. 1 ini.

Dalam konteks ini, pengguliran hak angket di DPR menjadi bisa diterima. Masalah politik diselesaikan dengan instrument politik. Wapres Jusuf Kalla pun sudah pasang badan, bahwa pemerintah akan memberikan penjelasan jika hak angket itu sudah menjadi kebijakan DPR.

Berkaca pada kasus watergate, pemerintah patut mewaspadai bola panas yang bergulir di DPR. Konsekuensi terjauh adalah tekanan pemakzulan sebagaimana yang terjadi pada Presiden Nixon ketika menyadap lawan politiknya semasa Pilpres di Amerika Serikat. Konsekuensi kedua, kian menguatnya kegaduhan politik. Gejolak sosial-politik yang menghebat paska kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok sudah menguras habis energi publik. Apakah pemerintah akan membiarkan hal ini terjadi demi melindungi sejawat Jokowi ini?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun