Mohon tunggu...
Rahman Hakim
Rahman Hakim Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menelisik Langkah "Batik" SBY

14 Desember 2016   20:54 Diperbarui: 14 Desember 2016   21:37 3782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto tribunnews

Kampanye terbatas paslon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) danSylviana Murni (Sylvi), Minggu (11/12/2016) siang, bertambah meriah dengan kehadiran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam situasi politik biasa, kedatangan Ketum Parpol Demokrat  itu sebenarnya tidak istimewa. Selain SBY, para ketum parpol pendukung AHY-Sylvi semacam Ketum PAN Zulkifli Hasan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketum PPP Rohamhurmuziy juga tampak hadir.

Masalahnya, Pilgub DKI Jakarta memang istimewa. Apalagi dengan munculnya AHY yang notabene adalah putera sulung SBY. Namun sejatinya, jauh sebelum maju dalam pilkada DKI Jakarta, AHY memang sudah kerap diserang akibat ikatan darahnya dengan PresidenRI ke-6 itu. Dulu pada tahun 2012, ketika AHY didapuk sebagai pembicara dalam suatu seminar muncul komentar pedas publik : “Enak sekali baru dinas dua tahun sudah jadi Mayor.”Komentar itu dijawab olehs senior Agus di Akmil dengan santun. Ia menyebut Agus sudah berdinas selama 12 tahun, dan teman-temannya yang satu angkatan sudah menjadi mayor semua. 

Hal-hal semacam ini kian menderas di era Pilgub DKI Jakarta. Bedanya, SBY diserang habis-habisan untuk menjatuhkan elektabilitas AHY-Sylvi. Pada posisi ini, kehadiran SBY untuk yang perdana kalinya dalam kampanye AHY-Sylvi. Lantas, apa alasan kehadiran SBY tersebut?

Mc. Nair (2003) dalam An Introduction to Political Communication,mendefinisikan komunikasi politik sebagai komunikasi terarah tentang politik.  Definisi ini terkait tiga hal. Pertama, segenap bentuk komunikasi para politisi dan aktor-aktor politik lainnya dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Kedua, komunikasi politik ditujukan oleh aktor-aktor tersebut kepada non-politisi, khususnya publik dan opinion leaders. Ketiga, representasi komunikasi politik tersebut dalam siaran media massa.  Berpijak dari penjelasan Mc. Nair ini, kita dapat membedah kehadiran SBY itu menjadi tiga dugaan. 

Pertama, SBY tidak goyah oleh hujan-hujat dan fitnah. Sebagaimana kita pahami, serangan terhadap SBY amat masif paska paslon AHY-Sylvi dideklarasikan. Sejak November, amat banyak serangan pembunuhan karakter yang harus dicecap oleh Presiden RI ke-6 ini.  SBY digambarkan sebagai sosok yang menghancurkan karir AHY di militer demi ambisi politiknya. Padahal sedari awal Agus sudah menegaskan bahwa turunnnya dirinya dalam gelanggang Pilgub DKI adalah atas inisiatif dirinya sendiri dalam upaya membenahi jakarta ke arah lebih baik lagi.

Lantas, deras pula tudingan SBY menjadi aktor di balik aksi umat islam menuntut keadilan terkait perihal penistaan agama yang menerpa Ahok. Sampai  Boni Hargens, kendati tanpa beralas bukti, nyata-nyata menuding aksi umat Islam itu dibiayai oleh uang korupsi selama SBY memimpin Indonesia. 

Tragisnya, ketika situasi sosial-politik memanas, dan SBY menyampaikan masukannya kepada pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai mantan presiden, dirinya lagi-lagi diserang. Sebagian kalangan seolah-olah hendak mengadu domba dirinya dengan Jokowi,sehingga ketika isu makar merebak, SBY akhirnya menerbitkan pikirannya dalam bentuk artikel politik untuk mencegah keresahan publik berlanjut; bahwa dirinya akan turut “menjaga”Presiden Jokowi sampai 2019 mendatang.

Sehingga, kehadiran SBY dalam kampanye AHY-Sylvi dapat dimaknai sebagai suatu maklumat menolak tunduk pada hujat dan fitnah. Kendatipun tindakannya akan membuat tsunami hujat dan fitnah kian menghantam. Ia masih seteguh karang sebagaimana ketika dirinya sepuluh tahun memimpin Indonesia. Jiwa petarung dalam koridor jalan lurus politik tetap digengamnya. Dengan jurus putih yang mengharamkan fitnah, SBYakan terus mengabdikan dirinya untuk membangun bangsa dan negara. 

Dan benar saja, hujan fitnah kembali melandanya. Berita yang bersumber media online dengan "tanpa dosa"menyebarkan fitnah bahwa SBY berada di belakang aksi seorang perempuan yang hendak melakukan teror bom. Padahal, sampai hari kita sama-sama tahu bahkan sekaliber media papan atas Indonesia tidak ada yang mengangkat isu ini. Celakanya, publik yang kerap teledor memilah informasi tanpa sadar turut menyebarkan berita fitnah ini. 

Kedua, tidak seperti kebiasaan tokoh-tokoh politik papan atas yang mendatangi arena kampanye, dan berbuih-buih“menjajakan” jagonya, tempo hari SBY tampak amat kalem. Kehadirannya tidak diikuti dengan penyataan khusus. Segenap media serentak hanya mencatat dukungan moril dan keramahan SBY menerima permintaan berfoto dari para pendukung AHY-Sylvi. 

Jika saja SBY mengeluarkan pernyataan terkait AHY, tentu agenda AHY-Sylvi itu akan lebih meriah di aras media massa. Siapa yang bisa menyangsikan bahwa SBY masih merupakan nara sumber papan atas di kalangan jurnalis? Siapa yang ragu bahwa SBY masih memiliki akar dukungan yang kuat di kalangan rakyat?

Bungkamnya SBY adalah simbol dari konsistensi ucapannya dahulu. “Bintangnya hari ini AHY, bukan saya. Sekarang saya pensiunan,” kata SBY pada awal Oktober 2016 ketika ditanya pewarta. Maknanya, SBY tidak ingin menggaduh proses politik AHY.  Dan ia konsisten pada gagasanitu; regenerasi dan kemandirian anak muda di dunia politik. SBY ingin agar AHY-Sylvi tegak padakekuatan diri dan pendukungnya. Bukan menjadi paslon boneka yang digerakan dari langit. 

Wajar, baru kali ini SBY hadir dalam kampanye AHY-Sylvi. Kehadiran itu pun kemungkinan besar karena para ketum parpol pendukung AHY-Sylvi sudah sepakat untuk hadir. Dan sebagai Ketum Partai Demokrat tentu saja SBY tidak layak jika menepis kesepakatan itu.

Ketiga, last but least, dalam diamnya, SBY ingin mengajak pihak-pihak yang selama ini berprasangka untuk kembali berpijak pada ajaran luhur bangsa. Batik betawi bermotif ondel-ondel yang dikenakan SBY menjadi simbolnya.

Batik adalah simbol“Bhinneka Tunggal Ika”. Batik adalah puncak kekayaan budaya Indonesia yang amat beragam, tetapi sekaligus dapat menjadi pemersatu bangsa Indonesia.  Motif ondel-ondel yang khas betawi itu menjadi simbol bahwa torelansi sudah sejak lama tumbuh di DKI Jakarta, dan sekian lama pula rakyat Jakarta telah merawat dan mengembangkannya. Jangan sampai hanya karena kepentingan sesaat ada yang memanfaatkan "BhinnekaTunggal Ika" sebagai objek politik satu kalangan. 

Dalam konteks agenda, batik yang dikenakan SBY pun amat tepat untuk merespons pidato politik AHY-Sylvi yangbertema “NKRI dan Kebhinekaan” itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun