Jadi dengan nilai yang sangat bersaing dengan para pendaftar yang lulus di sekolah pilihan pertama-nya, si anak justru bisa 'dilempar' kepilihan kedua atau ketiga dengan tolok ukur yang entah apa. Zonasi tidak, nilaipun bukan sebab akan ada anak yang secara nilai dibawah si A tetapi justru lulus dipilihan pertama si A.
Pilihan Adalah Skala Prioritas
Kenyataan pemberlakuan sistem baru tampaknya membentur apa yang saat ini sudah dan masih tertanam di benak para pendaftar dan orang tua siswa yang masih bertumpu pada sistem tahun-tahun sebelumnya bahwa: pilihan adalah skala prioritas bukan siap dimana saja asal masih termasuk dalam pilihan. Bagaimanapun (bagi si siswa utamanya), tentu memiliki sekolah idaman. Kita tidak bisa memungkiri itu.Â
Dan sekolah tersebutlah yang umum ditempatkan sebagai pilihan pertama (prioritas utama). Jika tak bisa masuk karena memang kalah bersaing secara nilai, maka tentu tak ada jalan lain selain legowo.Â
Maka ketika siswa dan orang tua tahu anaknya bisa lulus di pilihan pertama (secara nilai) tetapi justru diluluskan di pilihan kedua atau ketiga, tentu tak ada cerita lain. Itu pasti masalah. Sebuah masalah yang menjadikan para orang tua berbondong-bondong mendatangi Disdik Sulsel sejak hari pengumuman sampai kemarin (30/06/18).
Penghapusan Sekolah Favorit
Dalam keterangannya menanggapi ketidakterimaan para orang tua siswa terhadap hasil PPDB tahun ini, Disdik Sulsel menyampaikan bahwa penerapan sistem baru pada dasarnya adalah untuk menjalankan keputusan Kementerian Pendidikan terkait penghapusan label favorit pada sekolah tertentu. Secara inisiatif, hal tersebut tentu patut diapresiasi demi tersebar meratanya para siswa unggulan.Â
Akan tetapi, pelaksanaan di lapangan justru menjadi tidak bijak. Terlebih ketika hal tersebut diterapkan pada penerimaan jalur akademik. Itu resiko. Ketika kita mencoba menghapus label favorit tetapi masih menyediakan jalur akademik yang seharusnya murni hanya bertumpu pada perangkingan nilai, maka situasi kontradiktif akan terjadi.
Kita mungkin menganggap bahwa sejak sekolah favorit dianggap sudah tidak ada, lantas setiap orang akan siap menerima sekolah mana saja, asal termasuk dalam pilihannya.Â
Tetapi bagaimana kita menanggapi seorang siswa random A yang mati-matian belajar hanya demi masuk lewat jalur akademik ke sekolah X misalnya (tidak termasuk dalam domisili-nya). Kita tidak bisa memungkiri bahwa alasan calon siswa memilih sekolah tidak hanya karena ingin masuk melainkan juga bisa jadi karena tidak ingin masuk (tidak tertarik dengan sekolah yang di domisilinya misalnya).
Lagipula penghapusan label sekolah favorit sejatinya telah terwadahi dengan semakin besarnya kuota jalur domisili dan semakin kecilnya kuota jalur akademik. Mestinya kita tidak perlu khawatir, sebab ketika siswa excellent menyerbu sekolah X, sistem perankingan berdasarkan nilai yang akan menyeleksinya. Yang bisa dilakukan mungkin kuotanya dibuat se-sedikit mungkin sehingga jalur akademik juga benar-benar menjadi jalur akademik yang sangat kompetitif (sesuai namanya).Â