Mohon tunggu...
Novita Nurfiana
Novita Nurfiana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Eccedentesiast, ichthyophobia, gamophobic, Cynophobic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lila yang Lupa

19 September 2016   17:02 Diperbarui: 19 September 2016   17:09 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kulihat wajahnya yang kosong sambil tangannya sibuk melipat kertas warna-warni menjadi bentuk yang tak keruan. Bibir mungilnya bersenandung mengeluarkan nada yang tak ada di lagu manapun sementara matanya sesekali mencuri pandang kepadaku malu-malu.

“Kamu siapa? Apa kita saling kenal?” katanya kepadaku.

“Atau ah...mungkin aku sudah pernah menanyakan hal ini padamu...ah maafkan aku, betapa pelupanya aku.” katanya lagi.

Kembali dia asik dengan dirinya dan dunianya, menghiraukan aku yang hanya duduk termangu menatapnya.

“Hai, kamu siapa? Saya kenal kamu?” Lagi-lagi Lila menanyakan pertanyaan yang membuatku tak kuasa lagi membendung air mataku.

===

“Aku bingung La, aku belum siap apapun.” kataku menjawab pertanyaan Lila.

“Nathan, hubungan ini sudah terlalu lama mengambang, ambillah keputusan untukku, untukmu, untuk kita nanti.”

Aku hanya terdiam menatap wajahnya tanpa memberikan jawaban apapun sampai dia berlalu pergi dalam emosi.

===

“Kamu tidak bisa begitu Than, aku mencoba sedikit memahami kamu, tapi entah mengapa semakin aku berusaha justru semakin aku kacau.” kata Lila sambil berurai air mata.

“Kamu berubah Than, kamu hanya mengumbar janji manis demi menenangkan dirimu sendiri. Pada akhirnya kamu selalu lari dari masalah kamu memilih untuk membawanya tidur tanpa harus menyelesaikannya dan tanpa kamu sadari masalah yang tadinya sebesar biji selasih kini membengkak.”

“Aku hanya belum siap Lila, terlepas dari semua masalah kita, aku merasa belum siap.” jawabku tertunduk lesu.

“Kalau begitu, berhentilah memberiku kehampaan, aku lelah Nathan.” katanya sambil berlalu meninggalkanku.

===

Lila kini pergi, sementara aku masih sendiri bergulat dengan isi kepala yang belum tentu aku mengerti. Lila pergi melupakanku, meninggalkanku tanpa ada kata perpisahan layak. Atau sesungguhnya harus akukah yang mengeluarkan kata perpisahan itu.

Aku tidak adil padanya, aku enggan melepasnya dan dengan keras kepala menahan waktunya. Mengharuskannya selama empat tahun menghiasi hidupku yang hampa, menyemangati hatiku tanpa aku sadar dia juga harus menjalani kehidupan dan menggapai mimpinya.

Egoiskah bila aku ingin terus bersamanya, seperti ini saja. aku tak perlu persetujuan institusi manapun untuk mencintainya, untuk menjaganya.

===

“Hai Nathan, tanggal berapa sekarang.” kata suara manja yang mengejutkan dan menghentikan tangisku.

“Lila, maafkan aku. Maafkan aku membuang waktumu.” tangisku kini semakin pecah dengan tangannya mengusap wajahku dan matanya, matanya kini berkilat mengenalku.

“Dua tahun, dua bulan, 17 hari. Sudah selama itu kita tidak bertemu, atau setidaknya begitu dalam ingatanku.” katanya sambil merengkuh tubuhku erat dalam peluknya.

Sementara aku hanya bisa menangis dalam pelukannya hangatnya, merasakan tubuhnya di tiap mili kulitku dan menyimpannya erat di ujung-ujung syarafku. Aku menangis menggugu melepaskan rinduku padanya, rindu akan cintanya yang dulu selalu kuremehkan, cinta yang kini kuinginkan.

“Nanti aku akan lupa padamu lagi Than. “ katanya dengan suara yang bergetar dan napas yang memburu.

“Aku akan kembali pada ketiadaan waktu, dalam ruang yang sama sekali berbeda denganmu.” air matanya mulai mengalir menganak sungai  mengalir di dagunya dan membasahi pundakku.

“Maka sebelum aku kembali lupa, biarkan aku menyampaikan cintaku padamu, sekali lagi sebelum aku pergi lagi.”

===

Lila pergi lagi, melupakanku seorang diri dalam riuhnya dunia yang tanpa henti. Meninggalkanku sebuah amplop tebal berisi entah puluhan atau bahkan ratusan lembar surat yang dititipkannya pada perawat sebelum dia berangkat pergi.

Kubuka dan kubaca lembar demi lembar, tangisku pecah tak berkesudahan. Ditengah kesulitan mengingat huruf dia mengingatku dalam kehampaan. Semakin habis lembar yang kubaca semakin tak keruan tulisannya. Pada akhirnya di lima lembar terakhir yang tertulis hanyalah namaku, memenuhi semua halaman kertas.

Saat itu hatiku patah, dan seolah dihempas ke tanah, dia lalu pecah berkeping-keping. Lilaku melupakanku.

===

Nathan yang baik,

Ini surat pertama saat aku masih mengingatmu, entah apa yang sedang kau lakukan saat ini. Namun apapun yang sedang dan akan kau lakukan, berjanjilah untuk selalu berbahagia, untukku setidaknya.

Entah sampai kapan aku bisa mengingatmu, penyakit ini seolah membawa penghapus besar yang membuatku lupa semuanya; Ibu, Ayah, Kak Gilang bahkan aku melupakanmu. Namun kumohon jangan salah sangka, bukan empat tahun kebersamaan kita tidak berharga, hanya saja aku sungguh tak sanggup melawannya.

Terahir kali kita bertemu, aku marah padamu karena aku ingin bersamamu kau tahu? Aku ingin kau menemui ayahku dan memintaku padanya. Aku ingin bersamamu.

Namun saat ini yang aku inginkan hanya untuk mengingatmu, orang tuaku dan kakakku. Aku ingin bisa mengenal kalian setiap saat kita bertemu.

Nathan yang baik,

Aku ingin bersamamu untuk terakhir kali, sebelum aku lupa.

===

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun