Jika Anda mencari film horor yang berfungsi meneror sebagaimana mestinya genre horor, The Medium adalah jawabannya.
Film ini digawangi oleh kolaborasi master horor Korea Selatan dan Thailand, yaitu Na Hong jin dan Banjong Pisanthanakun.
Dua sutradara yang karya-karya mereka termasuk dalam list horor paling unforgettable bagi saya, seperti Shutter (2004) yang telah dibuat dalam beberapa versi termasuk Hollywood, Alone (2007) yang paling saya sukai, serta Na Hong jin dengan The Wailing (2016) yang membuat saya seolah-olah menahan napas hingga akhir film.
Film The Medium sendiri tayang perdana pada 11 Juli 2021 di Festival Film Internasional Bucheon ke-25 dan memenangkan penghargaan film terbaik kategori Bucheon Choice Features.
Selain itu, film ini pun meraih skor sebesar 88% versi tomatometer dari rottentomatoes.com, serta mendapat rating 6,6/10 dari situs imdb.com sejak artikel ini dipublikasikan.
Sinopsis
Film The Medium mengisahkan tentang sebuah tim dokumenter yang menyelidiki kepercayaan dan praktik perdukunan yang diwariskan secara turun-temurun di Isan, sebuah wilayah di utara Thailand.
Adalah Nim, seorang dukun yang dihormati oleh warga desa, diwawancarai tentang kehidupannya dan betapa besar pengaruh Dewa Bayan, dewa yang paling dihormati dan diagungkan oleh warga Isan, terhadap keluarganya.
Tim ini pun lantas mengikuti keseharian Nim, termasuk mendokumentasikan prosesi pemakaman saudara ipar Nim, Willow, yang meninggal dunia karena sakit.
Namun entah bagaimana Mink, anak perempuan Willow sekaligus keponakan Nim mendadak jadi aneh semenjak kematian ayahnya.
Ia tampak berbicara sendiri, linglung, dan bertingkah seperti anak kecil layaknya orang yang tengah dirasuki.
Kondisi Mink yang memburuk membuat Noy, ibu Mink khawatir. Nim yakin kalau Mink terpilih sebagai pewaris kekuatan Dewa Bayan dan bertugas untuk menjadi dukun keluarga selanjutnya.
Akan tetapi, situasi yang dialami Mink tampaknya bukan hanya sekedar proses pewarisan kekuatan Dewa Bayan seperti yang dipikirkan Nim.
Mink mulai kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri dan serangkaian kejadian aneh dan berbahaya pun mulai mereka alami.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mampukah Nim dan tim dokumenter mengungkap perihal mistis yang masih menjadi misteri?
Presentasi Visual dan Sinematografi dari Budaya Isan yang Aduhai Cantiknya
Ketika saya mendengar fakta bahwa kedua sutradara spesialis horor beken saling bekerja sama untuk The Medium, saya benar-benar berekspektasi tinggi.
Sebab, sejujurnya saya masih belum bisa melupakan sensasi yang saya rasakan selepas menonton Alone dan The Wailing. Rada parno dan ngeri sendiri, tetapi juga merasa puas dengan jalinan narasi yang solid.
Lantas setelah selesai menonton film ini, reaksi pertama saya adalah: terdiam. Rasanya butuh beberapa menit bagi akal saya untuk kembali berfungsi seperti sedia kala.
Dengan sentuhan “sedikit” elemen The Wailing-nya Na Hong Jin yang dieksekusi secara lugas oleh tangan dingin Banjong, The Medium mampu menghadirkan cita rasa horor yang begitu kental, dekat, dan membumi.
Terkhususnya bagi masyarakat Asia Tenggara yang notabenenya masih serumpun sehingga beberapa elemen budaya yang ditawarkan The Medium terasa selaras dengan budaya kita sendiri.
Saya merasa senang karena The Medium menawarkan wawasan baru tentang kepercayaan masyarakat Isan, terutama cara pandang mereka terhadap entitas alam dan supranatural.
Di mana warganya memandang bahwa semua benda memiliki roh. Tidak peduli baik ataupun jahat, semuanya dianggap Dewa.
Terlepas dari budaya tersebut memang benar adanya atau tidak, tetapi representasi tersebut nyatanya mampu berdiri kokoh sebagai pondasi cerita yang memadai hingga akhir.
Selain itu, Banjong tampaknya benar-benar berusaha memotret alam dan budaya Isan dengan detail serta penuh perhatian.
Hal ini diperlihatkan dengan bagaimana Ia mampu menggambarkan ritual perdukunan dengan sangat elegan. Bahkan untuk sekedar sesajen atau tari-tarian pun disampaikan secara rapi dan hati-hati.
Visual yang ciamik tersebut juga dikawal secara konsisten bahkan ketika film mulai menghadirkan aroma kisah yang mencekam dan menakutkan.
Salah satu hal yang paling saya sukai adalah momen di saat Nim siang malam berdoa di sebuah pohon tempat meninggalnya kakak Mink, Mike.
Serius. Bahkan walaupun nuansanya terasa sangat ganjil, visualnya sangat memanjakan mata.
Plot yang Solid dan Departemen Cast yang Mumpuni
The Medium bukanlah tipe horor yang hanya bermodalkan jumpscare demi menakuti-nakuti Anda. Kekuatan terbesar film ini benar-benar berasal dari narasi ceritanya.
Alih-alih disuguhkan dengan teknik klise jumpscare yang mencopot jantung, The Medium lebih cenderung memupuk pelan kengerian penonton hanya dengan eskalasi konflik yang dibangun sejak film dimulai.
Tentu saja ada jumpscare tetapi jumlahnya dapat dihitung jari, meskipun yang dihitung jari tersebut terbilang efektif membuat saya kaget. Hehe
Ada titik di mana plot terasa diulur-ulur dan cenderung membosankan, terutama babak pertama film saat Mink baru-baru mulai kerasukan.
Saya pun merasa mungkin ada beberapa adegan yang tidak berguna. Ditiadakan pun tampaknya tidak akan mengguncang jalan cerita utama.
Namun saya justru ingin mengapresiasi sisi tersebut karena yah pendekatan yang ditawarkan Banjong sebenarnya realistis.
Seseorang yang memang kerasukan tentu saja bukan ujug-ujug langsung terbang menjengkang seperti laba-laba atau mengeong bak kucing layaknya film-film exorcism biasanya.
Akan tetapi ada tahapan-tahapan tertentu, seperti bersikap aneh dulu, lalu setelah beberapa saat mulai tidak terkendali, kemudian menggila.
Lantas diakhiri dengan mode amukan seperti iblis mengerikan yang rupanya, proses tersebut berhasil dipotret Banjong dengan gemilang melalui Mink.
Cara bertutur yang dilakukan penuh kesabaran tersebut, perlahan tapi pasti, efektif mengantarkan teror yang begitu memukau di penghujung cerita dan mampu membuat saya bergidik ngeri.
Dan tentu saja, hal tersebut juga diamini oleh parade akting yang apik dari departemen cast film ini.
Saya pribadi ingin memberi pujian untuk pemeran Mink, Narilya Gulmongkolpech yang tampil totalitas dan meyakinkan.
Proses penokohan Mink terbilang cukup berliku untuk diperankan. Sebab, Narilya harus mampu memberi gambaran tertata dari seorang gadis muda ceria yang mendadak berubah menyedihkan dan mengenaskan karena hal-hal mistis yang dialaminya.
Kabar baiknya, Narilya berhasil melakukannya. Ia secara efisien mampu mengekspresikan kesurupan Mink yang jelas sangat mengandalkan mimik muka dan gestur tubuh.
Berhasil Mengoyak Rasa Penasaran Penonton
Film The Medium adalah tipe film yang mampu membuat para penontonnya menjadi “detektif dadakan” oleh teka-teki yang ditinggalkannya.
Banjong dan Na Hong Jin tampaknya sengaja membiarkan kita melakukan cucokologi terhadap beberapa misteri implisit yang disampaikan dalam film.
Contohnya, saya dibuat berdebat dengan teman saya perihal Dewa Bayan baik atau tidak.
Akal kami yang tidak seberapa ini juga dibuat bertanya-tanya, menebak-nebak, menyangkut-pautkan perihal mimpi Mink dengan patung Dewa Bayan yang terpenggal.
Tentu saja film ini meniadakan plot-hole karena seluruh kepingan puzzle misteri sebenarnya tersedia. Sebagai penonton, tugas kita hanya menyatukannya agar narasi film ini terasa lebih utuh dan nyata.
Kendati demikian, tetap saja saya ingin memberi nasihat pada Anda bahwa The Medium adalah film yang hanya boleh dikonsumsi oleh kaum-kaum bermental baja seperti saya saja.
Film ini merupakan pilihan yang tepat apabila Anda mencari horor yang memang berfungsi meneror.
Mengingat selama beberapa bulan belakangan kita hanya disuguhkan film horor yang entah bagaimana-pastinya menurut saya—sama sekali tidak horor layaknya genre horor.
Overall, saya memberi rating 8/10 untuk The Medium. Oh iya, film ini juga memiliki rated +19 sehingga para bocah tidak diperkenankan menontonnya.
Sekian review dari saya. Selamat menonton di bioskop kesayangan Anda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H