Terlepas dari budaya tersebut memang benar adanya atau tidak, tetapi representasi tersebut nyatanya mampu berdiri kokoh sebagai pondasi cerita yang memadai hingga akhir.
Selain itu, Banjong tampaknya benar-benar berusaha memotret alam dan budaya Isan dengan detail serta penuh perhatian.
Hal ini diperlihatkan dengan bagaimana Ia mampu menggambarkan ritual perdukunan dengan sangat elegan. Bahkan untuk sekedar sesajen atau tari-tarian pun disampaikan secara rapi dan hati-hati.
Visual yang ciamik tersebut juga dikawal secara konsisten bahkan ketika film mulai menghadirkan aroma kisah yang mencekam dan menakutkan.
Salah satu hal yang paling saya sukai adalah momen di saat Nim siang malam berdoa di sebuah pohon tempat meninggalnya kakak Mink, Mike.
Serius. Bahkan walaupun nuansanya terasa sangat ganjil, visualnya sangat memanjakan mata.
Plot yang Solid dan Departemen Cast yang Mumpuni
The Medium bukanlah tipe horor yang hanya bermodalkan jumpscare demi menakuti-nakuti Anda. Kekuatan terbesar film ini benar-benar berasal dari narasi ceritanya.
Alih-alih disuguhkan dengan teknik klise jumpscare yang mencopot jantung, The Medium lebih cenderung memupuk pelan kengerian penonton hanya dengan eskalasi konflik yang dibangun sejak film dimulai.
Tentu saja ada jumpscare tetapi jumlahnya dapat dihitung jari, meskipun yang dihitung jari tersebut terbilang efektif membuat saya kaget. HeheÂ
Ada titik di mana plot terasa diulur-ulur dan cenderung membosankan, terutama babak pertama film saat Mink baru-baru mulai kerasukan.