Mohon tunggu...
Nurul Fauziah
Nurul Fauziah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai tulis-menulis

Alumni Ilmu Sejarah FIB UI. Mencintai Literasi dan Musik. Menggemari Film dan Anime. Menulis untuk Bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah: Bung Hatta dan Demokrasi

30 Juni 2021   16:30 Diperbarui: 30 Juni 2021   16:45 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soekarno dan Hatta, via nasional.kompas.com

[Artikel ini sebenarnya adalah salah satu paper yang saya tulis untuk tugas semasa kuliah saya. Rasanya sayang sekali apabila saya biarkan artikel ini tertimbun begitu saja di antara jerami file di laptop saya. Artikel ini ditulis oleh saya yang pada masanya masih berada di awal perkuliahan sehingga banyak sekali kekurangan baik dari segi tata bahasa maupun substansi--saya tahu ini membela diri, hehe. Oleh sebab artikel ini lebih berisi informasi teoritis sebuah konsep daripada mengaitkannya dengan situasi politik yang sedang kita hadapi, akan lebih baik jika saya meletakkannya pada kategori Ruang Kelas saja. Mudah-mudahan bermanfaat bagi para pembaca.]

Semua orang tahu.

Sekiranya, ada banyak pembahasan mengenai demokrasi baik secara konsep, ideologi, sejarah, pelaksanaan, dan berbagai hal lainnya dari berbagai tokoh dan pemikir intelektual. Kajian mengenai demokrasi pun juga sudah ramai dibicarakan dalam forum-forum diskusi baik yang bersifat sederhana (kelas misalnya) ataupun dalam ruang lingkup yang lebih luas seperti seminar pendidikan, talkshow, dan sebagainya.

Setidaknya orang-orang pada umumnya tahu bahwa demokrasi adalah konsep kehidupan bernegara dengan asas dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Seminimalnya semua orang tahu bahwa demokrasi merupakan konsep di mana segala sesuatu yang menjadi cita-cita dan tujuan hidup negara bersumber dari dan untuk rakyat, sementara negara berfungsi sebagai sebuah alat yang digunakan oleh rakyat dalam menggapainya. Setidaknya semua orang tahu.

Akan tetapi, hal yang tidak diketahui oleh banyak orang adalah bahwa sesungguhnya penggunaan konsep demokrasi tersebut juga memiliki batasan-batasan tertentu dalam sistematikanya. Anggapan populer bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik dalam membangun kehidupan bangsa berdasarkan mufakat antara rakyat dan pemerintah adalah keterbatasan dari demokrasi itu sendiri yang pada akhirnya menimbulkan berbagai ketimpangan dalam eksekusinya.

Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus dan kejadian yang bertemakan penyalahgunaan demokrasi, misalnya hilangnya otoritas dan kepentingan untuk rakyat yang digantikan oleh tujuan pemenuhan kebutuhan pribadi bagi pihak-pihak tertentu. 

Demokrasi pada dasarnya merupakan suatu konsep yang diilhami prinsip kebebasan Individu yang tumbuh dan berkembang di negara-negara Barat sejak abad ke-17 (atau jika ingin ditarik lebih jauh lagi, ide/akar demokrasi sudah ada sejak zaman Yunani). Seperti yang kita ketahui, demokrasi rupanya bukan hanya dipakai oleh negara-negara Barat semata, namun juga diadopsi oleh banyak negara di dunia, salah satunya Indonesia. Pertanyaannya, apakah demokrasi ala Barat tersebut sesuai dengan kita?

Sekilas mengenai figur Muhammad Hatta.

Mohammad Hatta, salah seorang cendekiawan Indonesia yang terkenal sebagai proklamator bangsa, memberikan gagasannya mengenai demokrasi. Hatta sendiri adalah seorang intelektual yang mencakupi banyak bidang seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan berbagai hal lainnya, mengukuhkannya bukan hanya sebagai pejuang bangsa pada era kemerdekaan, tetapi juga sebagai tokoh pemikir brilian yang ide-idenya selalu menjadi pegangan dalam banyak bidang ilmu pengetahuan di Indonesia. Dalam hal ini, pemikiran Hatta sendiri tak dapat dilepaskan dari berbagai pengalaman hidup yang telah dialaminya.

Muhammad Hatta berasal dari Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia tidak hanya tumbuh dalam keluarga dengan adat dan budaya yang kental tetapi juga landasan agama yang kuat. Ia juga pernah mengecap pendidikan secara langsung di Belanda, bertemu dan berteman akrab dengan berbagai tokoh bangsa lainnya yang kemudian seiring berjalannya waktu, berjuang dalam merumuskan kemerdekaan bangsa. 

Bersama Soekarno, ia menjadi bapak bangsa dengan jabatan Wakil Presiden pertama era kemerdekaan. Ia dan Soekarno dikenal sebagai dwi tunggal yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Berbeda dengan Soekarno yang pintar beretorika, tegas dalam berbicara, serta cenderung anti barat (setidaknya jika diukur dari rentang waktu Soekarno menjabat sebagai Presiden), Hatta justru merupakan kepribadian yang lebih pendiam, lembut, ahli diplomasi dan bukan anti barat — selama ia bisa mengambil hal-hal yang baik dari Barat.

Soekarno dan Hatta, via nasional.kompas.com
Soekarno dan Hatta, via nasional.kompas.com
Berdasarkan kepribadian tersebut, Hatta dinilai sebagai seorang tokoh yang mampu menyejukkan dan menenangkan rakyat, ketika Soekarno tampil sebagai orator ulung pembakar semangat perjuangan yang menggelora. Jika saya mengatakannya, Ketika Soekarno adalah nyala api yang membara, Hatta adalah angin sejuk yang menenangkan, namun pada saat bersamaan memperkuat kobaran api para pejuang.

Kehadiran Hatta dianggap vital sebagai dwi tunggal. Figur Hatta sebagai anak daerah dianggap mewakili identitas kebangsaan rakyat Indonesia di luar Pulau Jawa. Oleh sebab itu, ketika Hatta memutuskan untuk mundur dari jabatan Wakil Presiden pada tahun 1956, banyak daerah di luar Pulau Jawa berdemonstrasi dan menuntut dikembalikannya Hatta sebagai dwi tunggal.

Sumbangsih Hatta terhadap bidang ilmu pengetahuan sangat besar. Salah satunya adalah demokrasi. Pada masa-masa awal kemerdekaan dan Orde lama, Hatta berada dalam kondisi di mana ia harus menilai konsep negara macam apa yang harus dipakai oleh bangsa Indonesia untuk mencapai integritas bangsa.

Bung Hatta dan Demokrasi.

Bung Hatta dikenal sebagai peletak dasar konsep keindonesiaan yang lebih mendalam tentang keadilan, keterbukaan, dan demokrasi. Hatta memiliki watak demokrasi yang bersifat sosialis, yaitu berada dalam pengertian sosialisme demokrasi yang berkembang di negara-negara Barat sejak paruh kedua abad ke-19. Akan tetapi perlu digarisbawahi, pemikiran Hatta mengenai konsep demokrasi berbeda dengan konsep demokrasi yang dimiliki oleh Barat.

Hatta adalah orang yang sangat kritis dan  rasional terhadap berbagai hal, termasuk ideologi atau pemikiran dari Barat. Jika kita membandingkannya dengan Syahrir atau Soekarno, Syahrir sepenuhnya menerima demokrasi ala Barat sementara Soekarno cenderung menolaknya. Dalam pandangan Hatta, demokrasi ala Barat sebenarnya merupakan demokrasi yang baik jika dilihat dari semboyan revolusi Perancis pada 1789, yaitu liberte, egalite, fraternite. Akan tetapi, proses zaman dengan berbagai kejadian di Indonesia, mendorong pemaknaan demokrasi berdasarkan semboyan revolusi Perancis bergeser dari maknanya.

Hatta menyetujui konsep liberte, egalite, dan fraternite tersebut, tetapi ia tidak menyetujui penerapan dari prinsip demokrasi yang mungkin tidak sesuai dengan prinsip persamaan, kekeluargaan, dan persaudaraan yang ada di Indonesia.

Hatta berpendapat bahwa demokrasi ala Barat tidak boleh sepenuhnya digunakan sebagai konsep negara Indonesia. Dalam penilaiannya, konsep demokrasi Barat telah gagal menerapkan konsep dan pemaknaan dari demokrasi itu sendiri, dengan adanya ajang kapitalisme ekonomi. 

Hatta berpandangan, bahwa seharusnya dalam konsep demokrasi, segala hal dari berbagai bidang, baik ekonomi, sosial, politik, kebudayaan atau apapun, harus berdasarkan demokrasi tanpa terkecuali. Hatta menilai tidak seharusnya terjadi ketimpangan dalam proses demokrasi seperti yang dilakukan oleh Barat yang dalam halnya, memberlakukan demokrasi hanya sekedar dalam masalah sosialnya semata. Mencakup ‘individu’ semata. Akan tetapi dalam tatanan politik, ekonomi, pemerintahan dan lain sebagainya si ‘individu’ tidak pernah benar-benar merdeka. Selain itu, demokrasi ala Barat bersifat rasialis, yakninya sebuah konsep yang hanya bisa dipakai dan berlaku bagi rakyat di negara Barat semata.

Pengalaman hidup masa terjajah banyak memengaruhi Hatta dalam membuat konsepsi dan penilaiannya tersendiri. Dalam pemajuan konsepsi demokrasi bagi Indonesia, Hatta berpandangan bahwa substansi demokrasi yang tepat bagi Indonesia adalah adanya sikap kritis terhadap pemerintah yang dilakukan dengan musyawarah mufakat, kekeluargaan dan persamaan, adanya prinsip tolong menolong dan gotong royong. 

Hatta pada dasarnya menginginkan suatu demokrasi bagi Indonesia yang bersifat ala Barat, namun dengan memakai nilai-nilai luhur Indonesia. Hal ini dapat dijabarkan dengan cara, ajaran Islam mengenai kebenaran dan keadilan yang merupakan perintah dari Allah terhadap manusia sebagai khalifah di muka bumi, budaya asli Indonesia sebagai orang timur yang bersifat kekeluargaan atau kebersamaan, dan paham sosialisme barat mengenai peri kemanusiaan.

Dengan menyebutkan hal ini, dapat dikatakan bahwa Hatta secara tidak langsung telah menegakkan tonggak dalam proses sosialisasi politik berdasarkan pengalamannya sendiri, budaya negara tempatnya berasal, serta agama dan kepercayaan yang beliau anut selama hidupnya.

Dapat disimpulkan, substansi demokrasi Hatta adalah rakyat yang berdaulat atas segala aspek kehidupan, di mana hal ini hanya bisa dicapai apabila demokrasi yang diberlakukan adalah demokrasi yang sifatnya kekeluargaan dan kebersamaan--sebagai wujud demokrasi untuk Indonesia, yakninya diberlakukannya budaya musyawarah dan gotong royong yang memang merupakan warisan luhur bangsa. Penolakan Hatta terhadap demokrasi Barat tertuju pada sistem ekonomi kapitalis yang menurut Hatta menyengsarakan kehidupan rakyat. Perlu diketahui, paham demokrasi ala Hatta memiliki wujud dan warnanya tersendiri dalam sejarah bangsa Indonesia, terutama pada masa demokrasi Parlementer, pada tahun 1950-1959.

DAFTAR PUSTAKA

Joeniarto, (1990), Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: PT Rineka Cipta

Mavis Rose, (1991) , Indonesia Merdeka; Biografi Politik Mohammad Hatta, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Miftah Toha, (2003), Birokrasi dan Politik Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Zulfikri Suleman, (2010), Demokrasi Untuk Indonesia; Pemikiran Politik Bung Hatta, Jakarta: Kompas,

[Ditulis di Depok, pada 16 April 2017]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun