Mohon tunggu...
Nurul Fauziah
Nurul Fauziah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai tulis-menulis

Alumni Ilmu Sejarah FIB UI. Mencintai Literasi dan Musik. Menggemari Film dan Anime. Menulis untuk Bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah: Bung Hatta dan Demokrasi

30 Juni 2021   16:30 Diperbarui: 30 Juni 2021   16:45 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soekarno dan Hatta, via nasional.kompas.com

Kehadiran Hatta dianggap vital sebagai dwi tunggal. Figur Hatta sebagai anak daerah dianggap mewakili identitas kebangsaan rakyat Indonesia di luar Pulau Jawa. Oleh sebab itu, ketika Hatta memutuskan untuk mundur dari jabatan Wakil Presiden pada tahun 1956, banyak daerah di luar Pulau Jawa berdemonstrasi dan menuntut dikembalikannya Hatta sebagai dwi tunggal.

Sumbangsih Hatta terhadap bidang ilmu pengetahuan sangat besar. Salah satunya adalah demokrasi. Pada masa-masa awal kemerdekaan dan Orde lama, Hatta berada dalam kondisi di mana ia harus menilai konsep negara macam apa yang harus dipakai oleh bangsa Indonesia untuk mencapai integritas bangsa.

Bung Hatta dan Demokrasi.

Bung Hatta dikenal sebagai peletak dasar konsep keindonesiaan yang lebih mendalam tentang keadilan, keterbukaan, dan demokrasi. Hatta memiliki watak demokrasi yang bersifat sosialis, yaitu berada dalam pengertian sosialisme demokrasi yang berkembang di negara-negara Barat sejak paruh kedua abad ke-19. Akan tetapi perlu digarisbawahi, pemikiran Hatta mengenai konsep demokrasi berbeda dengan konsep demokrasi yang dimiliki oleh Barat.

Hatta adalah orang yang sangat kritis dan  rasional terhadap berbagai hal, termasuk ideologi atau pemikiran dari Barat. Jika kita membandingkannya dengan Syahrir atau Soekarno, Syahrir sepenuhnya menerima demokrasi ala Barat sementara Soekarno cenderung menolaknya. Dalam pandangan Hatta, demokrasi ala Barat sebenarnya merupakan demokrasi yang baik jika dilihat dari semboyan revolusi Perancis pada 1789, yaitu liberte, egalite, fraternite. Akan tetapi, proses zaman dengan berbagai kejadian di Indonesia, mendorong pemaknaan demokrasi berdasarkan semboyan revolusi Perancis bergeser dari maknanya.

Hatta menyetujui konsep liberte, egalite, dan fraternite tersebut, tetapi ia tidak menyetujui penerapan dari prinsip demokrasi yang mungkin tidak sesuai dengan prinsip persamaan, kekeluargaan, dan persaudaraan yang ada di Indonesia.

Hatta berpendapat bahwa demokrasi ala Barat tidak boleh sepenuhnya digunakan sebagai konsep negara Indonesia. Dalam penilaiannya, konsep demokrasi Barat telah gagal menerapkan konsep dan pemaknaan dari demokrasi itu sendiri, dengan adanya ajang kapitalisme ekonomi. 

Hatta berpandangan, bahwa seharusnya dalam konsep demokrasi, segala hal dari berbagai bidang, baik ekonomi, sosial, politik, kebudayaan atau apapun, harus berdasarkan demokrasi tanpa terkecuali. Hatta menilai tidak seharusnya terjadi ketimpangan dalam proses demokrasi seperti yang dilakukan oleh Barat yang dalam halnya, memberlakukan demokrasi hanya sekedar dalam masalah sosialnya semata. Mencakup ‘individu’ semata. Akan tetapi dalam tatanan politik, ekonomi, pemerintahan dan lain sebagainya si ‘individu’ tidak pernah benar-benar merdeka. Selain itu, demokrasi ala Barat bersifat rasialis, yakninya sebuah konsep yang hanya bisa dipakai dan berlaku bagi rakyat di negara Barat semata.

Pengalaman hidup masa terjajah banyak memengaruhi Hatta dalam membuat konsepsi dan penilaiannya tersendiri. Dalam pemajuan konsepsi demokrasi bagi Indonesia, Hatta berpandangan bahwa substansi demokrasi yang tepat bagi Indonesia adalah adanya sikap kritis terhadap pemerintah yang dilakukan dengan musyawarah mufakat, kekeluargaan dan persamaan, adanya prinsip tolong menolong dan gotong royong. 

Hatta pada dasarnya menginginkan suatu demokrasi bagi Indonesia yang bersifat ala Barat, namun dengan memakai nilai-nilai luhur Indonesia. Hal ini dapat dijabarkan dengan cara, ajaran Islam mengenai kebenaran dan keadilan yang merupakan perintah dari Allah terhadap manusia sebagai khalifah di muka bumi, budaya asli Indonesia sebagai orang timur yang bersifat kekeluargaan atau kebersamaan, dan paham sosialisme barat mengenai peri kemanusiaan.

Dengan menyebutkan hal ini, dapat dikatakan bahwa Hatta secara tidak langsung telah menegakkan tonggak dalam proses sosialisasi politik berdasarkan pengalamannya sendiri, budaya negara tempatnya berasal, serta agama dan kepercayaan yang beliau anut selama hidupnya.

Dapat disimpulkan, substansi demokrasi Hatta adalah rakyat yang berdaulat atas segala aspek kehidupan, di mana hal ini hanya bisa dicapai apabila demokrasi yang diberlakukan adalah demokrasi yang sifatnya kekeluargaan dan kebersamaan--sebagai wujud demokrasi untuk Indonesia, yakninya diberlakukannya budaya musyawarah dan gotong royong yang memang merupakan warisan luhur bangsa. Penolakan Hatta terhadap demokrasi Barat tertuju pada sistem ekonomi kapitalis yang menurut Hatta menyengsarakan kehidupan rakyat. Perlu diketahui, paham demokrasi ala Hatta memiliki wujud dan warnanya tersendiri dalam sejarah bangsa Indonesia, terutama pada masa demokrasi Parlementer, pada tahun 1950-1959.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun