Sistem kesehatan secara utuh dapat dipandang sebagai kesatuan dari elemen-elemen yang terdiri dari unit-unit kerja yang keseluruhannya terfokus pada satu "subject care" yaitu masyarakat secara umum.
Setiap elemen dalam sistem kesehatan saling terhubung melalui sebuah sistem informasi kesehatan. Sistem informasi ini (meskipun masih manual dan berbasis kertas) merupakan medium untuk penyampaian informasi antar unit kerja ataupun antar profesional kesehatan. Kualitas dari informasi yang mengalir dalam sistem kesehatan ini penting karena menyangkut pada kesepahaman antar profesional tentang kondisi pasien.
Pelayanan kesehatan yang kerap ditemui setiap hari : dokter dan apotek. Pasien mendatangi praktek dokter (atau dokter di RS), mendapatkan diagnosa dan saran-saran, kemudian mendapatkan obat yang dibutuhkan sesuai dengan diagnosa melalui apotek. Pada hampir semua kasus kedua unit ini (praktek dokter dan apotek) merupakan satu kesatuan upaya kesehatan, karena pasien yang penyakitnya telah terdiagnosa akan butuh obat dari apotek.
Karena itu, antara dokter dengan apotek membutuhkan cara untuk berkomunikasi. Dokter perlu memberitahu apotek tentang apa-apa saja obat yang harus diberikan pada pasien, sesuai dengan diagnosa yang telah ditegakkan. Tetapi sayang sekali, komunikasi super penting seperti ini seringkali disampaikan dengan cara :
Sumber gambar :Â WHO
(Bahkan di contoh resep yang diberikan WHO diatas ada pesan : "don't write like this")
Masyarakat awam mungkin mengira bahwa tulisan yang tak terbaca diatas adalah disengaja dan apotek maupun apoteker dan asisten apoteker pasti mengerti. Kenyataannya : tidak. Kebanyakan apoteker atau asisten apoteker baru akan benar-benar paham tulisan di resep obat yang tulisannya jelek diatas ketika sudah terbiasa dan sering membaca tulisan di resep dari seorang dokter (yang biasanya juga obatnya hampir sama). Artinya pada awalnya akan ada periode dimana apoteker maupun asisten apoteker "menebak" apa yang ada di resep tersebut dan kadang-kadang mengkonfirmasi lewat telepon. Dan apabila apotek menerima resep dari dokter yang tidak biasa mereka tangani resepnya, risiko salah baca akan semakin tinggi.
Sokol dan hettige dalam Journal of the Royal Society of Medicine pada desember 2006, menyatakan bahwa tulisan tak terbaca sampai saat itu masih merupakan masalah yang signifikan dalam bidang kesehatan. Diperkirakan setiap tahunnya, tulisan tak terbaca menyebabkan 7000 kematian (sumber dan disini.)
Sekarang, coba pejamkan mata dan bayangkan, bahwa setiap tahun, ada 7000 orang yang terbunuh hanya gara-gara tulisan jelek. Saya ulangi : terbunuh, gara-gara tulisan jelek.
Jika terjadi medication error karena penyakit yang sulit untuk diagnosa dengan gejala yang mirip penyakit lain atau adanya alergi atau kondisi yang memang sulit untuk dideteksi (seperti kasus dr. Ayu), ibaratnya anda sedang asik-asik jalan tiba-tiba tersapu banjir bandang : masih bisa disebut : "kecelakaan" dan "nasib". Tapi medication error karena tulisan jelek? Itu sama dengan anda tertabrak mobil yang pengemudinya lengah karena nyetir sambil pacaran di whatsapp : KECELAKAAN MUATAMU???!!!
ISACA dalam Cobit 5 : enabling information menjelaskan bahwa Informasi dipandang sebagai salah satu faktor yang memungkinkan berjalannya bisnis (enabler). Dan sebagai Enabler informasi memiliki tiga jenis goals atau tujuan yang hendak dicapai. Goals ini dinyatakan dalam bentuk 15 macam kualitas informasi yang dibagi kedalam 3 grup : intrinsik, kontekstual dan keamanan.Â
Jika dibandingkan antara fenomena "tulisan jelek" di resep dokter dengan kualitas informasi yang dijelaskan ISACA diatas, maka masalah terbesar kualitas informasi dalam resep adalah pada kualitas kontekstual : interpretability dan understandability. Karena masalah kualitas kontekstual terkait dengan pekerjaan yang akan dilaksanakan dengan menggunakan informasi tersebut, maka masalah kualitas kontekstual dari informasi juga akan berefek pada pekerjaan yang hendak dilaksanakan oleh apotek sebagai pengguna informasi dari resep tersebut.
Salah satu solusi yang diajukan untuk masalah ini adalah penggunaan peresepan secara elektronik (saya ingin membahas ini lain waktu). Tetapi berhubung peresepan secara elektronik butuh waktu untuk bisa diterapkan dimana-mana, maka untuk meningkatkan kualitas informasi yang berasal dari dokter ke apotek, untuk sementara :
- Bagi dokter : pastikan tulisan anda terbaca, kalaupun anda memiliki pandangan bahwa salah satu "job description" dari apotek adalah membaca tulisan anda, ingatlah bahwa ada nyawa orang yang terancam hanya gara-gara tulisan anda.
- Bagi apotek/farmasis : tidak apa-apa cerewet sedikit. Jangan ragu-ragu untuk menelepon dan mengkonfirmasi setiapkali tulisan di resep yang anda terima mustakhil untuk dibaca. Kalau perlu anda teror dokter yang meresepkan dengan telepon pertanyaan setiapkali resepnya tidak bisa dibaca.
- Bagi pasien :Â be as nyinyir as posibble. Sebelum meninggalkan ruang periksa dokter, pastikan bahwa anda bisa membaca resep yang dibuat untuk anda. Tidak masalah jika anda tidak paham maksud dari resep tersebut (misal : "S.tdd.1.tab.pc"), tetapi yang penting anda mampu membaca setiap huruf-hurufnya dengan benar. Karena jika huruf-huruf yang tertulis di resep dapat anda kenali, hampir bisa dipastikan apotek bisa membacanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H