"Biar keren lah ahahaha. Udah ah, sana balik ke kursi masing-masing, tuh bu Isna dah masuk tuh" jawab Mona sembari mendorong teman-temannya untuk bubar dari mejanya.
Mona kemudian hendak mengambil tisu didalam laci meja, khawatir kalau air matanya yang sudah di ujung mata itu akan terlihat oleh teman sebangkunya. Ia ingin segera menyekanya. Namun ia menemukan bingkisan yang dibalut dengan kertas kado berwarna biru. Mona segera membukanya dan mendapati sebuah syal biru muda dengan sepucuk surat yang ia tahu betul siapa penulisnya.
Selamat datang kembali Mona, semoga suka. Maaf aku hanya bisa memberi ini. Semoga kebaikan selalu menyertaimu seperti biasanya. Bahagia selalu!
-Viona
Merasa sangat beruntung membaca surat tersebut, seketika air mata Mona terhenti. Ia memandang Viona dan mengangkat jempolnya. Bibirnya mengisyaratkan kalimat terimakasih yang disambut senyum dan anggukan Viona dari meja seberang. Dibalik punggung Viona terdapat jendela kelas yang kacanya bisa memantulkan bayangan Mona. Ia melihat wajahnya, ia melihat matanya. Mata kanan gadis itu memang menatap lurus kembali ke arahnya, namun mata kiri bayangan tersebut entah kemana arahnya. Ia melihat gadis didalam bayangan kaca itu cukup lama, menyadari bahwa penampilannya sangat berbeda dengan yang ia lihat beberapa waktu lalu.
"Bodo amat menjadi jelek. Yang penting aku masih hidup" tepisnya didalam hati
Sejenak Mona merasa bisa bangkit dari kejadian kemarin berkat teman-teman dan orang sekitar yang mendukungnya. Ia mengumpulkan segenap kekuatan untuk membangun dirinya menjadi lebih baik. Mengumpulkan keberanian untuk bisa menerima kekurangan dalam dirinya. Tapi, bagaimana ia akan merelakan dirinya dengan tekanan seperti itu selama sisa hidupnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H