Mohon tunggu...
Savita Karyatama Apr
Savita Karyatama Apr Mohon Tunggu... Freelancer - Event Enthusiast

Seorang pengembara yang suka bercerita tentang kehidupan, peristiwa, sejarah, dan hal seru lainnya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pt.1 | Anak Hutan di Kaki Pelangi

1 Maret 2024   11:50 Diperbarui: 13 Maret 2024   09:29 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angin mengalun seperti nyanyian burung di pagi hari, bersama dengan langkah kaki riang yang berlari-lari menginjak kubangan air. Terlihat pula wajah cantik penuh tawa dengan baju putih yang sudah banyak noda. Ia selalu terlihat bahagia ketika hujan membasahi wajah dan tubuh kecilnya itu. Ia seperti menari-nari dengan riuhnya suara hujan, suara angin, dan suara tawanya sendiri.

"Mona! Masuk! Nanti masuk angin!" ucap seorang wanita dewasa keluar dari dalam pintu rumahnya.

Gadis cilik yang sedang bernyanyi itu tampak tak mendengar teriakan wanita yang ternyata adalah ibunya sendiri. Sang ibu lalu melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari sebuah 'senjata' yang dapat digunakan untuk memanggil anak perempuannya itu. Ia melihat di ujung ruangan ada sapu yang tergeletak tak terpakai dan siap untuk digunakan. Langsung saja...

"Gedebuk!" suara sapu terbang tepat mengenai tubuh Mona. Sangat tepat sasaran.

"Aduhhhhhhhh!" rintih Mona sesaat setelah sapu mendarat di tubuh kecilnya

"Masuk! Mandi sekarang juga!!" sekali lagi sang ibu menyuruh Mona untuk segera menyudahi aktivitasnya

Mengetahui ibunya sudah sangat naik pitam, Mona segera masuk ke dalam rumah. Ia menyalakan kran air dan langsung bergegas mandi. Ia menggerutu dan menangis sembari memegangi bagian tubuhnya yang masih sakit terkena hantaman gagang sapu dari ibunya. Ia berkali-kali menyeka air mata sementara suara kran air dan hujan diluar rumah menyamarkan suara tangisnya. Ia merasa ibunya sangat jahat sekali karena memukulnya dengan sapu. Bukan kali ini saja, ibunya memang sangat keras dalam mendidik Mona, ia tidak akan segan-segan memarahi, membentak, bahkan melemparkan barang apa saja kepada Mona. Gadis kecil itu belum tau cara memaknai kasih sayang ibunya itu, yang ia tau ibunya sangat kejam dan ia sangat takut kepada ibunya. Jangankan untuk menceritakan keseharian dan keluh kesah atas apa yang ia rasakan, Mona bahkan tidak berani untuk berkata apapun kepada ibunya. Ia memilih diam dan menyimpan semuanya sendirian.

Mona kini sudah kelas enam SD, dan sebentar lagi ia akan memasuki jenjang SMP, ibunya bersikeras untuk memasukannya ke sekolah asrama. Mona jelas menolak, ia tidak ingin jauh dari teman-teman di kampungnya. Namun siapa yang bisa menolong Mona? Bercerita saja ia tidak mampu apalagi mencari pertolongan

Pernah suatu ketika Mona jatuh dari sepeda ketika berjalan-jalan memutari desa. Umurnya masih 6 tahun. Kedua lututnya tergores dan berdarah, jalannya menjadi terseok-seok. Sepedanya? Tidak bisa dikatakan baik-baik saja namun tidak seperih luka di kaki Mona. Ia meringis kesakitan karena setiap gerakan dikakinya menyebabkan perih yang lebih dalam di lutut kakinya. Dirumah, ibunya sudah menunggu didepan pintu. Wajahnya berselimut amarah

"Kamu darimana Mona?! Kakinya kenapa?! Kamu jatuh?! Pasti naik sepeda asal-asalan kan?! Pasti main balap-balapan kan?! Pasti keluyuran kan?! Telinga kamu kemana?! Hah?!" tanya ibunya bertubi-tubi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun