Kamis, 30 Maret 2016 seolah menjadi hari paling mengenaskan bagi institusi Kejaksaan Agung. Bagaimana tidak, pada hari itu dua peristiwa besar telah menyudutkan mereka pada posisi sangat terpojok.
Peristiwa pertama adalah diterimanya gugatan Praperadilan terhadap Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2) Novel Baswedan di Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu. Dalam kasus ini, Kejagung tersudutkan setelah sebelumnya yakin bahwa SKP2 terhadap Novel Bswedan ini telah memenuhi rasa keadilan dan sesuai dengan kaidah hukum dalam menetapkannya. Namun kenyataan berbicara lain, pengadilan jelas melihat kesalahan kejaksaan dalam menerbitkan SKP2 dan memerintahkan agar kasus penganiayaan yang dilakukan Novel Baswedan tetap dilanjutkan hingga ke meja hijau.
Peristiwa kedua yang tak kalah memilukan adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dua pejabat BUMN PT Brantas Abipraya dan seorang makelar kasus Marudut Pakpahan yang kesehariannya dikenal memiliki hubungan dekat dengan sejumlah petinggi di Kejagung seperti Jasman Pandjaitan, Sudung Situmorang dan Maruli Hutagalung.
Diduga kuat, dalam peristiwa OTT di sebuah hotel di kawasan Cawang, Jakarta Timur ini, Marudut berperan sebagai perantara Sudung Situmorang dan Tomo Sitepu yang saat ini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta dan Aspidsus. Hal ini diperkuat dengan diperiksanya Sudung dan Tomo secara mendadak tak lama setelah peristiwa OTT dua pejabat PT Brantas dan Marudut yang beberapa saat kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Berbeda halnya dengan Sudung dan Tomo, keduanya hanya diperiksa sebagai saksi meski dilakukan secara cepat yakni sebelum menetapkan status tersangka terhadap tiga orang yang telah ditangkap.
Meski demikian, KPK tegas menyebutkan bahwa uang sekitar Rp. 2 Miliar ini memang disiapkan untuk Kajati dan Aspidsus sebagai uang pelicin untuk mempeties-kan kasus dugaan korupsi PT Brantas Abipraya yang tengah diselidiki Tim Penyidik Pidsus Kejati DKI. Kasus ini diketahui dilimpahkan oleh Kejagung ke Kejati DKI Jakarta sekitar 2 bulan lalu.
Dua peristiwa ini mungkin tidak memiliki hubungan apapun jika dikaitkan satu sama lain. Namun jika melihatnya dengan seksama, maka akan terlihat jelas benang merah yang menghubungkan kedua peristiwa tersebut. Dua kasus ini bisa terkait satu sama lain jika dihubungkan dengan Novel Baswedan.
Keterkaitkan kedua kasus inilah yang kemudian menjadi kecurigaan banyak pihak karena KPK seolah terlalu terburu-buru melakukan OTT padahal uang belum berpindah tangan ke pejabat negara. Uang baru berpindah dari pihak yang berkasus di Kejati (PT Brantas) kepada seorang makelar kasus di Kejagung yang selalu mengaku sebagai pengusaha bernama Marudut Pakpahan.
Kecurigaan pertama bisa dilihat dari bantahan kedua belah pihak (KPK dan Kejagung) terhadap adanya tudingan kongkalikong, namun jejak keterkaitan kedua kasus ini seolah tak terbantahkan. Apalagi ketika siang hari itu Jamintel Adi Togarisman dan Plt Jamwas Jasman Pandjaitan mendadak mendatangi gedung KPK. Diawal kedatangannya, kedua petinggi Kejagung ini mengaku akan meminta klarifikasi dan koordinasi dengan pihak KPK terkait beredarnya pemberitaan tentang penangkapan terhadap seorang Jaksa terkait kasus suap. Tak lama kemudian, ketika keluar dari gedung KPK, mendadak mereka mengaku telah bekerjasama dengan KPK untuk mengungkap sebuah kasus suap. Ini adalah skenario terbodoh yang pernah dipertontonkan penegak hukum negeri ini.
Kecurigaan kedua bisa dilihat dari tak biasanya pejabat teras sebuah institusi mendatangi KPK ketika ada salah satu anggota institusinya dicokok dalam sebuah OTT. Andai pihak Kejaksaan Agung yakin tidak ada keterlibatan anggotanya, untuk apa Jaksa Agung ngotot mengirimkan Jamintel dan Plt Jamwas ke KPK? Bukankah cukup duduk manis saja sambil melihat perkembangan situasi jika memang seluruh anggota jaksa lengkap tak kurang satu apapun alias tidak ada yang ditangkap?
Kedatangan kedua pejabat teras Kejagung ini sebenarnya hanya untuk mendengarkan hasil rekaman penyadapan yang telah dilakukan penyelidik KPK terhadap Marudut Pakpahan. Dalam rekaman pembicaraan tersebut, Marudut Pakpahan diketahui berulangkali meminta uang kepada dua pejabat PT Brantas sebesar Rp. 2 Miliar agar dugaan kasus korupsi yang ditangani pihak Pidus Kejati DKI Jakarta bisa dipeties-kan. Jalur komunikasi intens antara Marudut dengan Kajati Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu juga tersadap dan muncul pembicaraan terkait rencana permintaan uang kepada PT Brantas Abipraya.
Rekaman ini tentu saja membuat pihak Kejagung panas dingin. Bagaimana tidak, bayangkan saja jika dua pejabat penting di Kejati DKI dijadikan tersangka dalam sebuah kasus suap? Mau ditaruh dimana muka Kejaksaan Agung?
Untung saja KPK saat ini memiliki seorang pimpinan yang lebih mengedepankan negoisasi ketimbang mempermalukan martabat institusi penegak hukum. Tetapi ini tentunya bukan sesuatu hal yang gratis. Hal ini dilakukan Ketua KPK Agus Rahardjo semata demi sebuah upaya untuk menyelamatkan anggotanya yang bernama Novel Baswedan.
Nasib Novel Baswedan kembali terancam setelah PN Bengkulu meminta agar pihak kejaksan segera melimpahkan kasusnya ke meja hijau pasca putusan Praperadilan. Hanya Jaksa Agung yang bisa menyelamatkan nasib Novel Baswedan dengan upaya hukum Deponering.
Kondisi inilah yang kemudian dijadikan bargaining Ketua KPK Agus Rahadjo kepada Jaksa Agung HM Prasetyo agar mau mengeluarkan deponering untuk Novel Baswedan. Jika deponering tidak segera diterbitkan untuk Novel Baswedan, maka siap-siap bagi Kejaksaan Agung untuk menanggung malu apabila sejumlah pejabatnya dijadikan tersangka oleh KPK.
Kini, remote sepenuhnya berada di tangan Ketua KPK Agus Rahardjo. Pesan yang disampaikan Agus kepada Prasetyo pun cukup jelas dan tegas.
“Mas Prasetyo, kedua anak buah Mas jelas-jelas terlibat dalam kasus suap PT Brantas berdasarkan bukti rekaman pembicaraan Marudut Pakpahan. Mas sebaiknya koordinasi dengan kami agar kasus ini bisa diselesaikan dengan baik bagi kita semua”.
Kalimat ini muncul dari seorang kawan dekat Jaksa Agung HM Prasetyo yang bercerita dengan salah satu orang kepercayaaannya beberapa saat setelah menerima telepon dari Ketua KPK Agus Rahardjo pada Kamis, 30 Maret 2016 sekitar pukul 11.00 WIB, beberapa jam sebelum isu penangkapan muncul di media. Telepon seorang Ketua KPK kepada Jaksa Agung dalam situasi seperti ini patut menjadi pertanyaan. Ada apa dibalik ini semua?
KPK ternyata kini mampu mempermaikan hukum demi kepentingannya sendiri dengan mengabaikan hukum yang hakiki demi keadilan tanpa pandang bulu. Sudah tak ada lagikah lembaga hukum yang jujur dan bisa dipercaya di negeri ini…?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H