Mohon tunggu...
Siti Savana
Siti Savana Mohon Tunggu... -

Belajar tidak peduli...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lukisan Malam di Bawah Rembulan

19 Desember 2010   16:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:35 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mengapa waktu berjalan begitu cepat, Antonio? Aku seperti penari telanjang yang begitu mudah terlupakan. Ahh, fase cinta kedua dalam hidupku adalah langit lembut yang melingkupi lingkaran waktu kita. Puisi-puisi patah seperti tangkai bebungaan yang pernah kita tanam tanpa pernah kita tuai terlipat menjadi  kepingan dirimu yang kujatuhkan kebelakang...

Bintang malam masih saja tulus menerima pintaku dengan kehangatan semburat rembulan malam, bagai adegan cinta membiarkan pelakonnya tetap hidup. Kuyakini. Sebab antar sesuatu selalu ada hubungan untuk saling melengkapi dalam sebuah kelemahan, meski telur tidak pernah berurusan menari dengan batu, Antonio sayang! Lalu mengapa aku harus selalu menggunakan pikiran indahku untuk itu?!!  Firasatku mengatakan, engkau dapat menjadi pahlawan jiwaku yang telah tiada. Tolong beritahu cara-cara menggunakan pikiran jeniusmu untuk membangun jerjak-jerjak tiang kekuatan bathin ini?..

Antonio, saat kuteriakkan cinta dari dalam dada tanpa terdengar halus bisiknya sedikitpun, betapa indah saat aku membalas pelukanmu secara diam-diam agar tidak terlihat siapapun untuk menari lembut di atas angin rindumu dan menerima ciuman sepenuh getar dan rasa di dadaku. Kuluman sekilas namun begitu dalam seperti tidak akan ada lagi ciuman-ciuman lain setelahnya. Tertawa lemah dan lirih menutupi kegalauan hati karena hentakan ombak besar yang menerjang dan menghantam batu padas jantungku, bertahan tidak hancur berkeping-keping namun perlahan-lahan menciptakan retak-retak halus di hatiku. Sungguh menakutkan, karena semua begitu mudah buatmu. Sedangkan aku bagai seorang yang mengendarai seekor kuda pucat di tengah kota, Antonio! Menerjang dan melawan badai sendiri. Berjuang sendiri memulihkan rasa, raga dan batinku.

Ada lukisan rindu ditiap titik hujan yang turun di pagi hari yangembuat aku selalu ingin menangis dan tertawa secara bersamaan. Pemandangan jiwaku berganti-ganti lemah tertekan dan kadang bahagia mensyukuri nikmat itu, Antonio!! “Kita sambung kembali tali silaturrahmi yang terputus”; Lukismu dalam damai. Kumenjerit dan menolak seperti habis terkena anima-anima kejam dan ganas. Aku tidak pernah sadar, ternyata aku telah memberikan sebuah bacaan halaman utuh kepadamu, hal yang membuat sahabatku Andini marah besar dan gila mendengarku.

“Kau gila, Sava!” jerit Andini keras ketika kuakui aku sering salah kirim sms kepadamu.

Lalu kujawab dengan tidak kalah keras sambil berurai air mata; “ Aku ingin dia marah dan membenciku, karena aku tidak akan mungkin bisa menganggapnya sebagai seorang teman biasa saja. Aku harus jujur. Aku ingin lebih dari sekedar teman. Aku ingin dia bisa menggantikan posisi almarhum Ayah dan Langit. Banyak orang yang ingin menggantikan posisi itu ketika membaca tulisan-tulisanku, tetapi aku tidak menginginkan mereka. Ini masalah hati. Hatiku adalah bejana kasih dan agung karena begitu tulus menyukai dan merindukannya”**

“Hal itu tidak mungkin, Sava. Dia bukan Ayah ataupun Langitmu yang telah pergi ke balik awan. Semua pribadi adalah unik, berbeda dan tersendiri. Pahami itu, Sava!” Kata Andini dengan sedikit lebih lembut.

“Aku tahu, justru karena itu aku tidak pernah berani berteman dengannya. Aku selalu merasa begitu direndahkan. Semua terasa begitu mudah dan gampang baginya. Maafkan aku”; Jawabku sendu.

“Lalu apa maumu?!”; Tanya Andini kembali. Beberapa kali kuingat Andini telah menanyakan hal itu kepadaku

“Aku ingin melupakan semuanya seperti keinginannya, tetapi aku belum mampu. Aku masih begitu lemah”; Jawabku hampir tidak terdengar.

"Kau harus kuat, Sava. Dirimu harus yakin, yakin akan kekuatan seorang Sava yang selalu membuat dunia bergelora penuh cinta!!" Kata Andini sambil memegang lembut tanganku ke dadanya.

“Aku belum berhasil memenangkan sebuah azas yang kuyakini, sebuah ketakutan kepada diriku sendiri yang menghambatnya!!”; Kataku lagi. Andini diam menatapku. Sunyi sepi, kami sama-sama menahan dingin malam di puncak tempat Andini mengunjungiku. Diam-diam aku membalas smsmu tanpa setahu Andini malam itu, lalu mematikan telepon selularku. Pagi hari saat menghidupkannya, kembali aku menerima balasan pesanmu. Aku menangis karena ternyata kau dan burung-burung dara kembali tidak mempercayaiku.

Di Kota kecil, indah dan sejuk itu aku pernah merasa begitu dekat dengan hatimu, membuat aku sekilas beranikan diri berharap dapat bertemu secara pribadi denganmu. Penolakan halus dalam maaf dengan mengatakan kau sedang bertugas di luar negeri mengundurkan keberanianku bertemu lagi denganmu. Membuat sesaat aku jadi teringat ketika pernah hampir bertemu tidak sengaja di lantai enam kantormu, aku segera menghindarimu dan menangis di dalam toilet dan segera pulang untuk menghindari semua teman di kantor itu.

Semua seperti terhapus angin. “Bukankah rindumu dulu adalah sebuah kebohongan besar?”* Kuulangi meneriakkan lagi semuanya, meski aku tidak pernah lagi berani bertatap rindu dengan rindumu di tanah ini karena tanah ini adalah tanah kesempatan untuk berjuang dan berharap dari, oleh dan untuk cinta, Antonio!!

Kau lihat aku sedang mengukir nama muslimahku di atas debu, meski pernah kuberitahu bahwa aku bukanlah seorang perempuan muslim namun secara sungguh dan tegas engkau mengatakan tetap akan berteman denganku. Sungguh tragis. Aku mempercayai dirimu  dan kita saling percaya tanpa pernah saling mengenal dengan baik. Mungkin saja itu aneh tapi mungkin juga tidak. Aku bercerita tentang semuanya kepadamu. Eksistensi dan hidupku, semua kesukaanku, lagu-lagu yang kudengarkan dan banyak lagi. Sekarang semua tiada lagi. Hanya tulisan-tulisan yang berhembus dan berlalu satu arah kepadamu. Aku rindu seperti dulu, namun sebuah mimpi panjang itu telah menghancurkanku, namun meluncurkan banyak mahakarya cinta seperti “pohon tarbantin kebenaran’; tanaman Tuhan yang kuyakini.

Aku ingin engkau menjadi pemimpin yang berdiri di depan untukku, Antonio! Karena pemimpin yang tidak berdiri di depan tidak akan mendapatkan kegemilangan meski berkarya banyak dalam hidupnya.  Seperti emas dan kemenyan dupa cintamu kepadaNya, layakkanlah dirimu dengan cemara kasih terhadap tangan-tangan lemah yang menengadah ke atas yang membutuhkan uluranmu, uluran kasih dan debu ilmumu. Aku selalu mendoakan kesuksesanmu dan mohon teruslah berdoa untukku seperti pernah tersurat pada pesanmu. Semua ini tidak akan berarti tanpa kasihNya lahir di hatiku, karena hanya bersamaNya aku juga bisa merasakan indahnya cemara rinduku kepadamu!!

Lukisan malam di bawah rembulan natal ini kupersembahkan buat seorang sahabat nurani di ujung hati yang sangat kurindu karena telah sangat lama sekali tidak bertemu. I Miss You, Dear...

Medan

19.12.2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun