Mohon tunggu...
Saut Donatus Manullang
Saut Donatus Manullang Mohon Tunggu... Akuntan - Aku bukan siapa-siapa! Dan tak ingin menjadi seperti siapa-siapa.

Damailah Negeriku!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jujur Nih! Gak Pake Mahar Politik?

30 Juli 2015   10:35 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:19 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah mengapa menjelang perhelatan pemilihan kepala daerah baik itu gubernur, bupati dan walikota, isu yang selalu terdengar adalah adanya praktik pemberian "mahar politik". Dimana seorang calon memberikan imbalan atau  pembayaran kepada partai politik agar mendukung pencalonan dirinya. Selain mahar ada juga yang menyebutnya "uang perahu".

Dulu yang saya tahu istilah "mahar"(bah.arab) dikenal dalam proses perkawinan atau biasa disebut maskawin yaitu pemberian berupa mas, uang, dsb dari mempelai laki-laki kepada pengantin perempuan pada waktu nikah. Mahar sendiri merupakan jalan yang menjadikan isteri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya. Jadi istilah mahar ini ternyata berlaku dalam praktik politik. Ya gak jauh bedalah dengan "sinamot" dalam tradisi batak.

BENARKAH ADA PRAKTIK MAHAR POLITIK DI PILKADA SERENTAK 2015?

Setidaknya ada pengakuan beberapa orang yang batal menjadi calon kepala daerah karena terbentur kerasnya tembok "mahar politik".

  1. Kabel Saragih memilih mundur dari pencalonan bupati Simalungun karena diminta untuk membayar uang "mahar" sebesar Rp 500 juta untuk satu kursi dukungan.
  2. Asmadi Lubis yang mengaku dimintai mahar sebesar 2,5 miliar dalam pencalonannya sebagai Bupati Toba Samosir.
  3. Sebastian Salang harus mengubur impiannya untuk maju menjadi calon Bupati Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, lantaran diwajibkan membayar uang "mahar" untuk memenuhi persyaratan pencalonan.

Dalam pilkada 2015 hanya tiga orang di atas yang secara terang-terangan mengaku dimintai mahar oleh partai politik, namun dapat dipastikan bahwa masih banyak lagi yang menghadapi hal serupa namun memilih untuk tidak bersuara. Dan melihat fenomena mahar politik ini, Partai Golkar Kubu Aburizal juga mengakuinya. Klik dan lihat di sini

Sekedar mengingatkan kembali, mari kilas balik di tahun 2013 dalam persidangan kasus korupsi impor daging dengan terdakwa Ahmad Fathonah, mantan calon gubernur Sulsel Ilham Arief dalam kesaksiannya mengakui pernah dimintai diminta uang Rp 10 miliar sebagai "mahar" agar mendapat dukungan PKS untuk pencalonannya di Pilgub Sulawesi Selatan. Artinya praktik politik transaksional ini sudah ada sejak pilkada langsung diberlakukan.

 APAKAH PRAKTIK MAHAR POLITIK INI DIBOLEHKAN?

Ada yang beralasan bahwa hal tersebut adalah wajar jika seseorang yang ingin maju sebagai calon harus mengeluarkan ongkos politik. Ada juga yang mengatakan bahwa mahar itu adalah bagian dari biaya kampanye. Dan ada yang mengatakan, Yang bener aja bro, masa sih mau nyalon gak punya duit?

Dan banyak lagi alasan lainnya yang pada dasarkan merupakan alasan pembenaran. Memberi alasan adalah hak mereka, namun perlu memperhatikan aturan-aturan yang sudah ada.

Dalam UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, memang tidak secara implisit disebut istilah mahar, namun mari kita lihat relevansinya di pasal 47 :

Ayat (1): Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Ayat (2): Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.

Ayat (3): Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ayat (4): Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota

Mengenai konsekuensi praktik mahar pilkada, Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan calon yang memberi mahar ke parpol bisa didiskualifikasi sepanjang dapat dibuktikan.

Nah, apakah calon kepala daerah jalur partai dukungan anda tidak termasuk calon yang melakukan praktik mahar politik?

Silahkan mencari jawabannya sendiri.

 

 

Salam Parjalpis,

Siantarcity

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun