Mohon tunggu...
Bung Opik
Bung Opik Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sun Go Kong is in the house...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[HORORKOPLAK] Ceritanya Seram, Hiiiy!

12 Januari 2017   08:30 Diperbarui: 12 Januari 2017   08:47 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini terjadi beberapa tahun silam. Kami, sekelompok pemuda yang berasal dari latar-belakang yang berbeda kerap berkumpul di sebuah tempat indekos yang kami deklarasikan sebagai markas.

Seperti biasanya, malam minggu kali ini lagi-lagi menjadi malam minggu yang monochrome bagi kami. Ya. Karena malam minggu kelabu hanyalah milik kaum jomblo. Kendati kami pun tergolong kalangan tuna asmara (meminjam istilah dari Rengga Bagus Nanjar -red.), namun kami menolak jika harus disejajarkan dengan para jomblo.

Bagi kami, status jomblo merupakan hasil kumulatif dari rangkaian peristiwa yang cenderung digariskan oleh takdir, sehingga relatif tak terelakkan (hihihi… buat para jomblo. Maaf, lho.). Sedangkan kami tetap menyandang status single-fighterseperti sekarang ini bisa dibilang merupakan hasil dari sebuah pilihan.

Yaahh… meskipun pilihan itu dibuat oleh para gadis yang menolak kami, sih. Toh, detil-detil semacam itu tidak terlalu penting lah untuk kami ceritakan kepada orang-orang… huekekekeke.

***

Entah bagaimana awalnya, kami pun akhirnya berkumpul di tempat ini. Aku yang memiliki minat di bidang cerpen. Beno, Mukhlis, dan Adi (bukan nama sebenarnya -red.) yang tergolong aktif sebagai pengurus di organisasi kampus. Serta Bima dan Okta (yang ini juga bukan nama sebenarnya -red. lagi) yang tergabung dalam sebuah grup musik. Jadilah kami, sekelompok pemuda yang terdiri dari aktiv-is, vokal-is, gitar-is, dan cerpen… err, kayaknya lebih aman kalau disebut penulis. Penul-is aja, deh.

Karena tidak punya kegiatan lain malam minggu ini, lagi-lagi kami kembali terdampar dan harus melewatkannya di markas. Kos-kosan yang kami jadikan tempat berkumpul berbentuk paviliun yang terpisah dari bangunan utama yang merupakan rumah induk semang. Memasuki paviliun tersebut, ada sebuah ruang tamu besar berbentuk persegi yang kami sulap menjadi tempat nongkrong dan merupakan titik pusat bagi empat ruang tidur dan satu kamar mandi yang digunakan bersama.

Tidak tahu siapa yang memulai, tiba-tiba saja obrolan ngalor-ngidul kami menyinggung tentang pengalaman yang berbau horor. Aku yang memang menggemari genre horor menjadi sangat antusias menyimak percakapan kami kali ini. Itung-itung nambah referensi untuk bikin cerpen, pikirku.

***

Hampir menjelang subuh ketika Bima akhirnya mendapat giliran untuk bercerita. Setelah beberapa pengalaman menyeramkan yang sebelumnya diceritakan oleh teman-teman yang lain. Mulai dari pengalaman Beno dalam perjalanan pulang ke tempat kos-nya yang lama, dan harus melewati daerah yang angker sehingga ia berpapasan dengan sesosok pocong. Lalu, cerita tentang rumah kontrakan yang mengalami banyak gangguan dari mahluk halus. Kemudian ada lagi cerita tentang penampakan sesosok kuntilanak yang ikut nangkring di etalase, menemani Mukhlis yang sedang lembur di tempat kerjanya. Dari semua cerita tersebut, menurutku pengalaman Bima yang paling menarik. Karena pada saat kejadian tersebut, kebetulan Okta juga ada di tempat yang sama dan menyaksikan hal itu.

***

Peristiwa itu terjadi ketika Bima dan Okta pergi bersama rombongan kru dan personil band mereka saat sedang berlibur di sebuah kawasan pantai di sebelah selatan Pulau Jawa. Mereka memutuskan untuk menyewa home stay sebagai tempat menginap dalam rangka melewatkan tahun baru.

Bima dan Okta hanya bisa menduga-duga hal apa yang membuat mereka akhirnya mengalami peristiwa tersebut. Mungkin penyebabnya karena salah satu dari teman mereka telah melanggar pantangan untuk tidak mengucapkan kata-kata yang ‘tidak sopan’.

Sudah lewat tengah malam ketika gangguan itu terjadi. Bima, dkk. sedang asyik berkumpul di ruang depan yang terhubung langsung dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Rumah itu begitu riuh dengan suara gelak-tawa mereka ketika mendadak listrik di rumah itu padam.

Bima yang memang paling pemberani diantara rombongan tersebut lalu mengajak Okta untuk mengecek breaker listrik yang terletak di dapur. Dengan membawa dua buah senter sebagai cahaya penerangan, Bima dan Okta lalu berjalan menyusuri ruangan di rumah itu menuju dapur.

Untuk mencapai dapur, terlebih dahulu mereka harus berjalan agak sedikit menepi dari ruangan depan, yang berarti di sisi sebelah kiri ruangan apabila dilihat dari depan rumah. Dari ruangan tersebut, mereka melewati lorong yang jaraknya tidak terlalu panjang, lorong yang terbentuk karena posisi dinding luar rumah dan dinding kamar tidur berdiri sejajar. Lorong pendek itu menghubungkan ruangan depan dengan ruang makan yang letaknya di tengah bangunan rumah. Untuk sampai ke dapur, mereka harus berjalan diagonal menyusuri ruang makan dari arah lorong tempat mereka dating, menuju celah dinding seukuran pintu yang memang dibiarkan tidak bersekat.

Ketika sampai di dapur, Bima dan Okta segera menyorot senter ke penjuru dinding dapur untuk menemukan letak breaker listrik. Ternyata benar saja, saklar pada breaker listrik tersebut memang turun.

Bima memerintahkan Okta untuk menerangi breaker tersebut, sedangkan ia berusaha mengembalikan saklar ke posisi on.

Percobaan pertama, tak lama saklar kembali turun ke posisi off. Percobaan kedua, lagi-lagi seperti itu. Saat Bima akan mencoba untuk ketiga kalinya, tiba-tiba terdengar seseorang menghardik dengan suara lantang.

“HEH!”

Secara refleks Okta segera menyorotkan senter ke arah datangnya suara. Bima dan Okta terkejut mendapati seorang nenek tua yang entah muncul dari mana, berdiri menghadang di perbatasan ruang makan dan dapur, menatap mereka berdua dengan mata melotot dan raut wajah ketus. Tangan Okta dengan cepat meraih gagang pintu yang menghubungkan dapur dengan halaman belakang.

Sial. Pintu itu masih terkunci. Keduanya segera menyadari kemunculan nenek tersebut terlalu ganjil. Jelas-jelas ruang makan yang mereka lewati tadi kosong. Bima bergerak tak kalah cepat membuka jendela besar yang terletak di samping pintu. Ia segera menarik Okta keluar melewati celah jendela yang terbuka. Keduanya berhenti beberapa saat setelah berhasil keluar dari dapur.

“Lo liat juga kan?” Tanya Bima memastikan. Okta hanya mengangguk.

Keduanya segera berlari mengelilingi pekarangan rumah menuju ruang depan.

“Woyy… buruan beresin barang-barang. Kita Cabut! Rumah ini ngga beres.” Seru Bima kepada teman-temannya di ruang depan. Mereka segera menuruti perintah Bima meskipun setengah bertanya-tanya.

Setibanya di mobil, Bima memerintahkan temannya yang menyetir untuk menjalankan kendaraannya dengan kencang. Beberapa saat setelah mobil berjalan, Okta dan Bima lalu menceritakan kepada yang lain tentang kejadian yang mereka alami di dapur. Suasana mobil menjadi hening. Semua orang tenggelam dalam alam pikiran masing-masing.

Angga yang menyetir kendaraan, tiba-tiba menegur Bima yang duduk di kursi penumpang depan.

“Lu jangan sampe ketiduran ya, Bim. Pokoknya ajak gue ngobrol.” Meskipun sedikit heran, Bima hanya mengiyakan permintaan aneh tersebut.

Belakangan Angga mengaku, bahwa dalam perjalanan pulang Ia berkali-kali mendengar bisikan yang memerintahkannya untuk membelokkan kemudi di rute lurus yang memang sudah sering Ia lewati dan hapalkan di luar kepala.

Anehnya, dalam perjalanan kali ini, rute yang seharusnya hanya membentuk satu jalur lurus terlihat seolah-olah memiliki beberapa percabangan di tengah-tengah. Dan Angga ingat sekali kalau jalur-jalur yang bercabang tersebut seharusnya tidak ada.

***

Waktu kurang-lebih sudah berlalu tiga puluh menit semenjak Bima memulai ceritanya. Beberapa dari kami tak tahan berkomentar untuk menanggapi setelah mendengar cerita Bima tersebut. Mungkin Bima memang memiliki bakat sebagai story-teller. Suasana angker yang ia ceritakan begitu terasa meskipun kami tidak ikut mengalami kejadian tersebut. Satu-dua orang dari kami bahkan mengaku kalau bulu kuduk-nya sempat merinding saat Bima menceritakan pengalamannya tersebut.

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara Mukhlis.

“Astagfirullah!” Sambil menyerukan kalimat Istigfar, Mukhlis mengarahkan pandangannya ke luar jendela, ke seberang paviliun.

Ruang tamu kami memang memiliki jendela yang sangat besar. Sepertiga dinding paviliun ini memang dibangun dari kaca, sehingga keadaaan di ruang tamu akan terlihat jelas apabila dilihat dari luar.

Serentak kami mengalihkan perhatian kami ke arah tatapan Mukhlis. Kami melihat dengan jelas sosok yang terbalut kain putih dari kepala sampai kaki, terseok-seok menuruni anak tangga yang berada di rumah induk semang.

Tak percaya dengan pemandangan yang terlihat, tak satupun dari kami yang dapat bersuara selama beberapa saat. Seolah-olah tenggorokan kami semua tersumbat. Keheningan yang sejurus kemudian berubah menjadi keriuhan.

“Bubar! Bubar! Seru Adi. “Bentar lagi subuh. Ibu kost udah berangkat ke masjid, tuh.”

Kami pun lalu tergelak menyadari kekonyolan kami. Sempat takut juga. Abis kaget, sih… :D

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun