Dua Sejoli
Agus dan Rojali adalah dua anak desa kecil di pelosok Jawa Barat. Persahabatan mereka dimulai sejak usia lima tahun, ketika Rojali dengan polosnya memberikan setengah potong ubi bakar kepada Agus yang menangis karena terjatuh di tengah sawah. Sejak saat itu, mereka menjadi tak terpisahkan. Segala hal mereka lakukan bersama: menggembala kerbau, bermain di sungai, hingga mencuri mangga tetangga.
Namun, hidup di desa tidak mudah. Orang tua mereka bekerja keras sebagai petani kecil, yang penghasilannya sering tak cukup untuk makan sehari-hari. Di usia belasan, Agus dan Rojali sudah ikut mencari uang tambahan. Agus membantu ibunya membuat sapu lidi, sedangkan Rojali bekerja sebagai buruh angkut di pasar.
"Kita nggak bisa begini terus, Gus," kata Rojali suatu malam ketika mereka duduk di bawah pohon besar di pinggir sawah. "Aku mau keluar dari desa ini. Aku mau cari kerja di kota, bikin hidup kita lebih baik."
Agus mengangguk. "Aku juga, Jal. Kita harus sukses, biar orang tua kita bangga."
Mimpi itu mereka genggam erat. Setelah lulus SMP, mereka pun berpisah untuk pertama kalinya. Agus mendapat pekerjaan di kota besar, bekerja sebagai kuli di sebuah pabrik. Rojali, dengan modal tabungan seadanya, merantau ke Jakarta, berharap bisa menjadi pengemudi ojek. Mereka berjanji akan saling berkabar, meski jarang ada waktu untuk itu.
Tahun-Tahun yang Berat
Di kota, Agus memulai hari-harinya dengan kerja keras. Awalnya, dia hanya seorang buruh kasar, tapi sifatnya yang ulet dan kemampuannya beradaptasi membuatnya naik pangkat menjadi kepala gudang. Dari situ, Agus mulai belajar cara berdagang, hingga akhirnya membuka usaha toko kelontong kecil yang kemudian berkembang menjadi grosir besar. Kesuksesan itu tidak datang tanpa pengorbanan, tetapi Agus tahu semua perjuangannya sepadan.
Rojali, di sisi lain, menghadapi nasib yang berbeda. Hidup di ibu kota tak seindah bayangan. Ia sempat bekerja sebagai pengemudi ojek, lalu mencoba menjadi pedagang asongan, tetapi penghasilannya sering kali tak cukup untuk makan. Berbulan-bulan ia tidur di emperan toko, menahan dingin dan kelaparan. Hingga akhirnya, dengan hati berat, Rojali memutuskan kembali ke desa.
Pertemuan Kembali
Bertahun-tahun berlalu. Agus, yang kini menjadi pemilik usaha sukses, memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Ia rindu dengan suasana desa dan teman lamanya, Rojali. Namun, sesampainya di sana, ia mendengar kabar bahwa Rojali telah lama kembali ke desa.
"Dia tinggal di rumah tua dekat sungai," kata salah seorang tetangga.
Agus segera mencari sahabatnya itu. Ketika ia menemukan Rojali, pria itu tengah duduk di depan rumah kecilnya, mengenakan pakaian lusuh. Meski terlihat lelah, Rojali tersenyum lebar saat melihat Agus.
"Gus? Ini kamu?" tanyanya dengan suara bergetar.
Agus mengangguk, menahan haru. "Iya, Jal. Aku kangen banget sama kamu."
Mereka berbincang lama, mengenang masa-masa kecil. Namun, Rojali tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
"Kamu berhasil, Gus. Kamu bisa keluar dari kemiskinan. Sementara aku... aku gagal. Aku nggak punya apa-apa."
Agus menatap sahabatnya dengan mata penuh empati. "Jal, kita masih punya waktu. Aku di sini buat kamu. Kita bisa mulai lagi."
Rojali tersenyum tipis, meski matanya berkaca-kaca. "Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana, Gus."
Agus menggenggam bahunya erat. "Kita mulai dari sini, Jal. Aku akan bantu kamu. Dulu, kita pernah bermimpi bersama. Sekarang, kita bisa mewujudkannya bersama."
Awal yang Baru
Agus membantu Rojali membuka warung kecil di desa. Ia membimbing Rojali dalam berjualan dan mengajarinya cara mengelola keuangan. Perlahan tapi pasti, Rojali mulai bangkit. Warungnya berkembang, dan ia mulai bisa menabung untuk memperbaiki rumahnya yang hampir roboh.
Meskipun mereka kini berbeda dalam pencapaian hidup, persahabatan mereka tetap utuh. Setiap sore, mereka duduk di bawah pohon besar tempat mereka biasa bermain dulu, menatap langit yang sama, sambil berbincang tentang hidup dan mimpi-mimpi baru.
"Gus, kamu tahu?" kata Rojali suatu sore. "Aku nggak peduli seberapa jauh kita melangkah. Yang penting, kita selalu punya tempat untuk kembali. Dan itu, buat aku, adalah persahabatan kita."
Agus tersenyum hangat. "Aku juga, Jal. Aku bersyukur kita masih bisa duduk di sini bersama, di bawah langit yang sama."
Dan bagi mereka, langit itu adalah saksi dari persahabatan yang tak pernah luntur, meski waktu dan nasib mencoba memisahkan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H