"Dia tinggal di rumah tua dekat sungai," kata salah seorang tetangga.
Agus segera mencari sahabatnya itu. Ketika ia menemukan Rojali, pria itu tengah duduk di depan rumah kecilnya, mengenakan pakaian lusuh. Meski terlihat lelah, Rojali tersenyum lebar saat melihat Agus.
"Gus? Ini kamu?" tanyanya dengan suara bergetar.
Agus mengangguk, menahan haru. "Iya, Jal. Aku kangen banget sama kamu."
Mereka berbincang lama, mengenang masa-masa kecil. Namun, Rojali tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
"Kamu berhasil, Gus. Kamu bisa keluar dari kemiskinan. Sementara aku... aku gagal. Aku nggak punya apa-apa."
Agus menatap sahabatnya dengan mata penuh empati. "Jal, kita masih punya waktu. Aku di sini buat kamu. Kita bisa mulai lagi."
Rojali tersenyum tipis, meski matanya berkaca-kaca. "Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana, Gus."
Agus menggenggam bahunya erat. "Kita mulai dari sini, Jal. Aku akan bantu kamu. Dulu, kita pernah bermimpi bersama. Sekarang, kita bisa mewujudkannya bersama."
Awal yang Baru
Agus membantu Rojali membuka warung kecil di desa. Ia membimbing Rojali dalam berjualan dan mengajarinya cara mengelola keuangan. Perlahan tapi pasti, Rojali mulai bangkit. Warungnya berkembang, dan ia mulai bisa menabung untuk memperbaiki rumahnya yang hampir roboh.