Membuat film berlatarbelakang sejarah bukanlah hal mudah. Demi kepentingan dunia industri yang hadir untuk mengibur, kadang film berlatarbelakang sejarah ini banyak sekali mengedepankan sisi 'lebay' ketimbang akurasi dari cerita yang sebenarnya. Tak ayal, terkait dogma 'kejujuran' dari
[caption id="attachment_393558" align="aligncenter" width="564" caption="Serial King Suleiman yang tayang di Antv"][/caption]
film berlatarbelakang sejarah ini kerap kali menjadi terasa bias terhadap sejarah yang sesungguhnya telah dicatat oleh para ahlinya.
Nah, apalagi kalau film itu terlahir dari proses adaptasi novel fiksi berlatarbelakang sejarah. Kadang, imajinasi seorang penulis akan sangat berbeda dengan sutradara. Demikian juga antara penulis sejarah dan penulis novel. Demi membangun cerita yang terlihat complicated, mampu mengalir sehingga menarik dibaca maupun ditonton maka tak sedikit menyelip sejumlah interpretasi subyektif dari sang kreator. Semakin jauh masanya dari era kehidupan sang tokoh, kecenderungan untuk merekonstruksinya dalam sebuah karya film tentunya akan lebih besar potensi bias yang muncul. Inilah yang harus kita pahami terlebih dahulu.
Point of view semacam itulah yang rasanya pantas kita tempatkan di awal ketika membicarakan film serial King Suleiman yang tayang di Antv. Protes yang datang bertubi-tubi itu justru malah membuat serial ini akan semakin menarik perhatian penonton. Mungkin juga, hadirnya polemik itu malah membuat rating dan share Antv semakin terangkat. Wallahualam bissawab!
Dari hasil penelusuran yang ada, polemik terhadap serial ini sesungguhnya terasa sangat lucu. Lahirnya sengkarut perdebatan serial ini justru berawal dari tayangan yang diunggah di Youtube. Di sini, serialnya masih sangat orisinal dan belum terkena gunting sensor. Padahal ketika menyaksikannya dalam layar kaca Antv, sepertinya cukup banyak hal yang berbeda. Mulai dari penerjemahan kalimat sampai adanya sejumlah sensor terhadap beragam adegan yang berpotensi memancing polemik.
Apalagi jika merujuk pada aturan sebuah film boleh ditayangkan di depan publik maka di sana ada peran dari Lembaga Sensor Film (LSF) untuk menyeleksinya. Pertanyaannya, mengapa LSF bisa meloloskan serial ini? Bahkan LSF pun tanpa sungkan untuk memberikan kategori serial ini sebagai tontonan remaja. So, apakah kita sudah lebih ahli dari orang-orang yang ada di LSF sana?
Tetapi fakta yang sempat terjadi belakangan kemarin, sebagian dari kita justru langsung meresponsnya dalam bentuk protes. Bahan protes ini menjadi sangat rancu karena menggunakan tayangan yang ada di Youtube, dimana konten yang ada di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan dengan yang ada di versi layar kaca. Sekali lagi, marilah kita menempatkan sikap kritis dan protes ini secara obyektif.
Namun demikian inilah tantangan yang kerap dialami dari film-film berlatarbelakang sejarah. Memang harus diakui juga, terkadang ada saja para pembuat film berlatarbelakang sejarah ini yang melakukan langkah short cut. Dengan dalih keterbatasan riset atau adanya sebuah tekanan, fakta dalam film acapkali bertolakbelakang dengan kenyataan.
Contoh semacam ini begitu gamblang terlihat dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI. Demi kepentingan penguasa, film ini kemudian malah mendistorsikan fakta-fakta sejarah. Misalnya, penggambaran Ketua Umum PKI DN Aidit yang di film tersebut tak henti-hentinya merokok. Padahal, dalam kenyataanya Aidit bukanlah seorang perokok.
Nah kembali kepada serial King Suleiman, apakah ada sejarah yang telah dibengkokkan lewat serial ini? Inilah tantangan buat kita semua. Untuk memahami sebuah sejarah, tentunya tak hanya bisa dari menyaksikan sebuah film atau sekedar membaca novel berlatarbelakang sejarah saja. Kiranya, pelajarilah sejarah dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang dibuat oleh para ahli sejarah.
Ketika serial ini secara lugas dan tegas mengidentikkan dirinya sebagai sebuah karya fiksi maka tempatkanlah juga cara pandang kita dalam ruang-ruang semacam itu. Janganlah terlalu cepat untuk membenturkannya dengan sebuah fakta sejarah, apalagi mengaitkannya dengan sebuah bentuk pelecehan dari fakta sejarah. Sebagai sebuah bentuk karya hiburan maka dari segi kesejarahan, porsi imajinasi tentu akan lebih besar dibandingkan dengan fakta sejarah yang tertulis. Inilah poin penegas berikutnya yang harus kita pahami.
Sekali lagi, dalam membuat film berlatarbelakang sejarah memang tak mungkin bisa memuaskan banyak pihak. Ini semua tergantung dari sudut pandang si pembuat film. Apakah film ini memang bertujuan untuk kepentingan industri hiburan, propaganda atau memang ingin benar-benar seakurat mungkin menampilkan fakta sejarah. Bagaimanapun satu peristiwa yang sama, bisa saja ditampilkan secara berbeda oleh pembuat film.
Dan dalam film serial King Suleiman ini, ceritanya merupakan hasil saduran dari novel berjudul The Sultan’s Harem karya Colin Falconer. Ketika diproduksi dalam bentuk serial, kisah fiksi film ini memang berlatarbelakang dari Kerajaan Ottoman yang dipimpin oleh Raja Suleiman di abad ke-16.
Sebagaimana ramuan khas cerita fiksi, di dalamnya diselipkanlah beragam 'bumbu' untuk menguatkan cerita. Cerita fiksi ini kemudian digulirkan dengan beragam intrik dan drama cinta yang berlangsung dalam kehidupan di dalam istana. Di dalamnya diperlihatkan bagaimana hubungan para permaisuri, ibu suri, para pembantu dan anak-anak Raja Suleiman untuk saling berebut pengaruh dengan tujuan menjadi penerus tahta selanjutnya.
Sampai di sini, haruskah kita acungkan telunjuk seraya berkata ini adalah cerita yang menyesatkan! Nah di sinilah perlu kiranya kita kembali memahami sejarah secara benar. Ketika sebuah fiksi itu hadir dalam karya tontonan menghibur, rasanya akan sangat naif untuk lekas menudingnya sebagai karya yang hendak menyesatkan apalagi melecehkan sebuah catatan emas dari perjalanan Raja Suleiman bersama Kerajaan Ottoman. Sangat tidak fair juga, jika kita mendesak agar serial ini harus 100 persen sama dengan sebuah sejarah yang sebenarnya tertulis. Sekali lagi, ini adalah sebuah tontonan untuk menghibur.
So, menyikapi silangkata dan protes terhadap serial King Suleiman ini, rasanya alangkah bijak kalau kita menempatkan posisinya sebagai sebuah karya fiksi, sebagaimana ditulis. Sebagai karya fiksi, tentunya akan sarat unsur hiburan, dan bukan memaksakannya untuk melihatnya sebagai sebuah film sejarah yang berjalan di atas alur fakta sejarah. Dari polemik yang menyemburat itu, pantaslah kita bertanya ulang; sudahkah kita memahami sejarah dari sumber yang sebenarnya? Ataukah kita masih saja gemar memahami sejarah hanya berdasarkan sebuah karya fiksi yang justru hadir hanya untuk menghibur?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H