Ketika serial ini secara lugas dan tegas mengidentikkan dirinya sebagai sebuah karya fiksi maka tempatkanlah juga cara pandang kita dalam ruang-ruang semacam itu. Janganlah terlalu cepat untuk membenturkannya dengan sebuah fakta sejarah, apalagi mengaitkannya dengan sebuah bentuk pelecehan dari fakta sejarah. Sebagai sebuah bentuk karya hiburan maka dari segi kesejarahan, porsi imajinasi tentu akan lebih besar dibandingkan dengan fakta sejarah yang tertulis. Inilah poin penegas berikutnya yang harus kita pahami.
Sekali lagi, dalam membuat film berlatarbelakang sejarah memang tak mungkin bisa memuaskan banyak pihak. Ini semua tergantung dari sudut pandang si pembuat film. Apakah film ini memang bertujuan untuk kepentingan industri hiburan, propaganda atau memang ingin benar-benar seakurat mungkin menampilkan fakta sejarah. Bagaimanapun satu peristiwa yang sama, bisa saja ditampilkan secara berbeda oleh pembuat film.
Dan dalam film serial King Suleiman ini, ceritanya merupakan hasil saduran dari novel berjudul The Sultan’s Harem karya Colin Falconer. Ketika diproduksi dalam bentuk serial, kisah fiksi film ini memang berlatarbelakang dari Kerajaan Ottoman yang dipimpin oleh Raja Suleiman di abad ke-16.
Sebagaimana ramuan khas cerita fiksi, di dalamnya diselipkanlah beragam 'bumbu' untuk menguatkan cerita. Cerita fiksi ini kemudian digulirkan dengan beragam intrik dan drama cinta yang berlangsung dalam kehidupan di dalam istana. Di dalamnya diperlihatkan bagaimana hubungan para permaisuri, ibu suri, para pembantu dan anak-anak Raja Suleiman untuk saling berebut pengaruh dengan tujuan menjadi penerus tahta selanjutnya.
Sampai di sini, haruskah kita acungkan telunjuk seraya berkata ini adalah cerita yang menyesatkan! Nah di sinilah perlu kiranya kita kembali memahami sejarah secara benar. Ketika sebuah fiksi itu hadir dalam karya tontonan menghibur, rasanya akan sangat naif untuk lekas menudingnya sebagai karya yang hendak menyesatkan apalagi melecehkan sebuah catatan emas dari perjalanan Raja Suleiman bersama Kerajaan Ottoman. Sangat tidak fair juga, jika kita mendesak agar serial ini harus 100 persen sama dengan sebuah sejarah yang sebenarnya tertulis. Sekali lagi, ini adalah sebuah tontonan untuk menghibur.
So, menyikapi silangkata dan protes terhadap serial King Suleiman ini, rasanya alangkah bijak kalau kita menempatkan posisinya sebagai sebuah karya fiksi, sebagaimana ditulis. Sebagai karya fiksi, tentunya akan sarat unsur hiburan, dan bukan memaksakannya untuk melihatnya sebagai sebuah film sejarah yang berjalan di atas alur fakta sejarah. Dari polemik yang menyemburat itu, pantaslah kita bertanya ulang; sudahkah kita memahami sejarah dari sumber yang sebenarnya? Ataukah kita masih saja gemar memahami sejarah hanya berdasarkan sebuah karya fiksi yang justru hadir hanya untuk menghibur?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H