Berselang saat, Torun mengabari ibunya bahwa dia telah selesai dan sebentar lagi akan pulang untuk memetik rindu dengan neneknya. Dipaksanya bibirnya tersenyum.
Sayangnya waktu itu sudah terlalu siang untuk pulang. Selama pengalamannya, itu tidak cukup untuk bisa sampai ke rumah karena ia harus melewati sedikitnya 3 terminal dan berganti 3 bis juga. Sialnya, pada terminal terakhir itu, bis yang mengantarkan ke kotanya hanya sampai pukul 6 sore. Dan menurut perhitungannya itu tidak akan cukup. Kalau pun dipaksa, ia harus bersedia bermalam di terminal. Torun akhirnya memutuskan untuk menunda kepulangan sampai esok harinya. Pagi-pagi buta aku harus pulang! Ia berjanji pada diri sendiri.
Setelah riuh rendah azan duhur berkumandang, gawainya terdengar suara pekak tangis ibunya yang tak tertahankan. Ia tersentak kaku, seperti sedang dialiri sengatan listrik. Apa gerangan yang terjadi? Batinnya. Ia mencoba menenangkan hati dan mendamaikan pikirannya yang sudah menggapai-gapai pada sesuatu yang paling ia tidak pernah ingin bayangkan. Semakin keras ia menolak pikiran dan perasaan itu, semakin kuat juga apa yang ada dipikirannya itu menjejali kepalanya.
"Kamu sekarang dimana, Nak?"
"Di warung, Mak. Beli sarapan, tadi belum sempat sarapan"
"Yaudah kalau nanti sudah di kontrakkan, telpon Mak ya, Nak?"
Ibunya dicurigai menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang ditimbun dalam-dalam. Torun semakin menerka-nerka semak belukar yang selama ini pantang ia jamah. Tapi siapa yang tidak tahan untuk itu. Setangkas kuli ia selesaikan makan lalu pulang ke kontrakkan. Gawai ibunya tidak bisa dihubungi. Ia ganti menelpon kakak sulungnya.
"Torun, Nak"
Rupanya yang mengangkat telpon adalah bibinya. Adik ketiga dari ibunya.
"Kamu sudah tidak bisa bertemu nenek lagi, nenek sudah meninggal"
"Nenek meninggal pagi tadi!"