Jarum jam sudah mengangkangi angka 7 lebih, tak ayal ia beranjak dari posisinya yang menyedihkan itu. Torun punya tradisi sendiri, apapun aktivitas di bawah pukul 10 ia enggan mandi. Benar saja, dia hanya menyapu wajahnya dengan air tanpa sekalipun memikirkan bau badannya yang super busuk. Dengan tangkas ia memakai baju ritual khas mahasiswa yang hendak sidang. Kemeja putih selengkap dasi hitam polos.
"Rada iya juga aku kalau berpakaian rapi gini"
Ia siap sekarang.
"Aku pasti bisa!" pekiknya dalam hati
"Jangan sampai tumbang duluan!" tandasnya lagi
Sebagai mahasiswa, Torun terlibat aktif di lingkungan para aktivis. Ia dididik di organisasi pergerakan kemahasiswaan yang punya reputasi malang melintang. Bertemu orang baru, menghadiri kajian-kajian ilmiah, berbicara di depan khalayak, berkhotbah di forum-forum diskusi, dan beradu pendapat bukanlah hal yang sama sekali baru. Ia mantap untuk sidang!
Sebelumnya memang ia sudah mengabari ibunya bermaksud meminta restu untuk kelancaran sidangnya dan juga salat hajat barang 2 rakaat untuk meminta bimbingan dan keterlibatan-Nya.
Detik-detik mendebarkan itu pun sudah di depan mata. Seketika bayangan neneknya yang terbaring lemas di rumah sakit kembali menghantui fokusnya. Sembari memejamkan mata, ia menghela nafas dan mengirimkan sepinta Al-Fatihah untuk neneknya. Ia punya keyakinan bahwa komunikasi yang bisa ia lakukan paling intim saat itu adalah dengan mengirimkan doa-doa pada neneknya yang masih dalam keadaan koma. Betapa sesak nafasnya, tapi mau tak mau ia dipaksa menelan pahitnya keadaan itu.
Ia menjalani sidang skripsi tanpa kesulitan berarti. Revisi minor menurut bahasa kampus. Betapa riangnya ia, satu fokus telah selesai. Selanjutnya? Ia berencana pulang ke kampung halaman dan menengok kondisi neneknya langsung. Ia bersumpah akan menjaga neneknya sampai takdir akan menentukan bagaimana berjalannya perjalanan hidup seseorang. Pantang aku menginjakkan rumah sebelum bertemu dengan nenek. Dia membulatkan tekad.
Begitulah Torun di pagi menjelang siang itu, ia bersuka dalam kedukaan, dan berduka dalam atmosfer yang menuntutnya harus bersuka. Ia melengos menatap pematang sawah persis di depan rumah kontrakkannya. Dibuangnya nafas dalam-dalam. Hatinya berkecamuk harus menuruti perasaan yang mana. Dua perasaan yang saling tarik ulur. Sial. Serapahnya.Â
Ia pun kini terdiam, lama terdiam. Hanya itu yang ia bisa lakukan. Pesta itu akhirnya tanpa selebrasi, tanpa upacara, tanpa gelak tawa. Ia mengembalikkan pikirannya pada seonggok tubuh yang sudah mengeriput terbujur tak berdaya di atas kasur. Seonggok tubuh perempuan yang amat dicintainya, pahlawan sejati dalam hidupnya. Sesingkat Al-Fatihah lagi ia tujukan pada perempuan malang itu. Matanya jauh mengawang, kosong.