Kabar bohong itu ternyata sampai pula di telinga Icca. Mendengar itu, mencak-mencak Icca marah dan menelopon aku.
"Assalamualaikum ...Pak. Â Maaf Pak, ini ada kabar tentang pertemanan kita selama ini, ada yang mulai merasa tidak nyaman. Bisa-bisanya itu, ada orang yang begitu di. Sampaikan sama istrita Pa, na. Jangan kasian... tidak adaji kasian niat untuk ganggu rumah tanggata. Kita tau saya, 'kan." Demikian Icca meneleponku.
Mulai saat itu, aku dan Icca berkomitmen untuk membuktikan bahwa di antara aku dan dia tidak ada hubungan spesial sebagaimana yang dipikirkan oleh Pian, dan mungkin pula orang-orang di sekitar kami.
Untuk membuktikan itu, aku mengundang Icca berkunjung ke rumahku.
"Icca, boleh ntar sore  pulang kantor ke rumahku?" pintaku pada Icca.
"Ada acara, ya Rif?" jawab Icca.
"Ya, ada....lah, tapi di rumahpi kamu tahu"
Icca tampak ragu dan was-was. Ada apa gerangan, tiba-tiba aku mengundangnya ke rumah. Karena dia tahu, di rumah ada istri dan kedua anakku. "Jangan-jangan Pak Sarif ingin melaporkan kedekatanku dengan dia selama ini.. "Matti ma," gumam Icca dalam hati.
Pada sore hari itu, Icca bersama teman sekantormya memenuhi undangannku. Ia datang mengendarai Sigra yang belum lama dibelinya. Setelah memarkir mobilnya, ia langsung bertemu dengan istri dan kedua anakku di ruang tengah.
Aku keluar dari kamar dan menyambut Icca dan temannya. Aku bersalaman dengan keduanya diikuti oleh anak dan istriku. Sejurus kemudian, aku memulai pembicaraan.
"Maaf Icca, sengaja aku undang ke rumahku, di depan istri dan kedua anakku. Aku ingin istri dan anakku tahu bagaimana pertemanan kita selama ini. Jangan sampai ada info atau kabar-kabar tidak enak yang Icca dengar sehingga merusak silaturrahim kita yang sudah terjalin selama ini. Semoga silaturrahim ini tidak berhenti setelah perjuangan kita berakhir. ..."