La Moelu (Si Anak Yatim)
Oleh: La Ode Muhamad Sauf (Guru SMAN 7 Kendari)
La Moelu adalah seorang anak laki-laki miskin berusia sekolah dasar. Ia dilahirkan dari keluarga yang miskin. Ia hidupa bersama ayahnya yang sudah tua renta. Kisah cerita ini berasaal dari daerah Muna, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Perjalanan hidup La Moelu bersama ayahnya yang dilandasi kerja keras, kesabaran, dan ketekunan, akhirnya mengubah kehidupann mereka menjadi keluarga yang kaya raya. Lika-liku perjalanan hidup La Moelu bersama ayahnya yang tua renta  menjadi keluarga kaya raya tersaji dalam kisah berikut ini!
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Konon, di sebuah dusun di daerah Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, hidup seorang anak laki-laki yatim bernama La Moelu. Usianya masih sangat muda, baru beranjak belasan tahun. Ibunya meninggal dunia sejak ia masih bayi. Kini, ia tinggal bersama ayahnya yang sudah sangat tua dan tidak mampu lagi mencari nafkah. Jangankan bekerja, berjalan pun harus dibantu dengan sebuah tongkat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, La Moelu-lah yang harus bekerja keras. Karena masih anak-anak, satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukannya adalah memancing ikan di sungai yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Suatu hari, La Moelu pergi memancing ikan di sungai. Ia membawa umpan dari cacing tanah yang cukup dengan harapan dapat memperoleh ikan yang banyak. Saat ia tiba di tepi sungai itu, tampaklah kawanan ikan muncul di permukaan air. Ia pun semakin tidak sabar ingin segera menangkap ikan-ikan tersebut. Dengan penuh semangat, ia segera memasang umpan pada mata kailnya lalu melemparkannya ke tengah kawanan ikan itu. Ia duduk menunggu sambil bersiul-siul. Cukup lama ia menunggu, namun tak seekor ikan pun yang menyentuh umpannya.
"Ah, ke mana perginya kawanan ikan itu? Padahal tadi aku melihat kawanan ikan itu muncul di permukaan air" pikirnya dalam hati.
Sejak pagi hingga siang, La Moelu belum juga memperoleh seekor ikan pun. Terbersit dalam hatinya untuk berhenti memancing. Namun, penasaran dengan kawanan ikan tersebut, ia pun memutuskan untuk terus memancing.
"Aku tidak boleh putus asa, ikan-ikan itu mungkin saja belum menemukan umpanku," gumamnya dalam hati.
Alhasil, sejurus kemudian, kailnya tiba-tiba saja bergetar. Dengan penuh hati-hat, ia menarik kailnya ke tepi sungai secara perlahan-lahan. Tampak seekor ikan mungil terkait di ujung kailnya. Betapa girangnya hati La Moelu meskipun ia hanya mendapat seekor ikan kecil dengan warna yang sangat indah. Ia pun membawa pulang ikan itu dan memperlihatkannya kepada ayahnya. Â Sesampai di rumah, ayahnya pun merasa senang melihat ikan itu.
"Alee...ikan apa yang kamu bawa itu, anakku? Mungil dan indah sekali warnanya" ucap ayahnya dengan perasaan kagum.
"Entahlah, Ayah" jawab La Moelu.
"Mau diapakan, ikan ini, Ayah?" tanya La Moelu.
"Lebih baik kamu pelihara saja ikan itu, Anakku! Karena kalau dimasak pastilah tidak cukup untuk kita makan berdua," ujar sang Ayah.
Orang tua renta itu kemudian menyuruh La Moelu agar menyimpan ikan itu ke dalam mangkuk yang berisi air. La Moelu pun menuruti petunjuk ayahnya. Keesokan harinya, betapa terkejutnya La Moelu saat melihat ikan itu sudah sebesar mangkuk. Ayahnya ikut terperanjat ketika melihat kejadian aneh itu.
"Pindahkan segera ikan itu ke dalam lesung!" perintah sang Ayah.
La Moelu pun segera mengisi lesung itu dengan air, lalu memasukan ikan tersebut ke dalamnya. Keesokan harinya, kejadian aneh itu terulang lagi. Ikan itu sudah sebesar lesung. Lalu Sang Ayah, kembali  menyuruh La Moelu  agar memindahkan ikan itu ke dalam guci besar.  Hari berikutnya, ikan itu berubah menjadi sebesar guci. La Moelu pun mulai kebingungan mencari wadah untuk menyimpan ikan itu.
"Di mana lagi kita akan menyimpan ikan ini, Ayah?" tanya La Moelu bingung.
"Oh... di situ, Anakku. Simpan di dalam drum yang ada di samping rumah" Â kata sang Ayah.
La Moelu segera memasukkan ikan itu ke dalam drum yang ditunjukkan ayahnya. Keesokan harinya, ikan itu sudah sebesar drum. Keduanya semakin bingung, karena tidak ada lagi wadah yang dimiliki untuk menyimpan ikan itu. Akhirnya, sang Ayah menyuruh La Moelu untuk membawa ikan itu ke laut. La Moelu pun membawa ikan itu ke laut. Sebelum melepas ikan itu ke laut, terlebih dahulu ia memberi nama ikan itu  dan berpesan kepadanya.
"Hai, ikan! Aku memberimu nama Jinnande Teremombanga. Jika aku memanggil nama itu, segeralah kamu datang ke tepi laut karena aku akan memberimu makan!" ujar La Moelu.
Ikan itupun mengibas-kibaskan ekornya pertanda setuju. Setelah itu, La Moelu pun melepasnya. Ikan itu tampak senang dan gembira karena bisa berenang bebas di samudera luas. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan ikan itu. Sesampainya di tepi laut,ia pun segera berteriak memanggil ikan itu.
"Jinnande Teremombanga....!!!"
Tak lama kemudian, Jinnande Teremombonga pun datang menghampiri La Moelu. Setelah makan, ikan itu kembali ke laut.  Demikian kegiatan La Moelu setiap pagi. Kegiatan La Moelu itu, akhirnya tercium oleh pemuda-pemuda kampung. Mereka penasaran dengan apa yang dilakukan oleh La Moelu setiap pagi. Tatkala La Moelu sedang memberi makan Jinnande Teremombonga, secara diam-diam tiga pemuda kampung  mengintai La Moelu dari balik pohon yang rimbun. Ketiga pemuda adalah tetangga dan masih bagian dari keluarga La Moelu. Ketika melihat seekor ikan raksasa mendekati La Moelu, ketiga pemuda itu tersentak kaget. Lalu timbul niat jahat mereka untuk menangkap ikan itu.
"Ayo kita tangkap ikan itu," seru salah seorang dari mereka.
"Tunggu dulu! Jangan gegabah! Kita tunggu sampai La Moelu pulang. Setelah itu baru kita menangkap ikan itu," bisik pemuda lainnya.
Begitu La Moelu kembali di rumahnya, ketiga pemuda itu segera keluar dari balik pohon, kemudian berjalan ke tepi laut. Sesampainya di tepi laut, salah seorang di aantara mereka maju beberapa langkah lalu berteriak memanggil ikan itu.
"O... Jinnande Teremombonga ..."!
Dalam sekejap, Jinnande Teremombonga pun datang ke tepi laut. Namun, saat mengetahui orang yang memanggilnya itu bukan La Moelu, ikan itu segera kembali berenang ke tengah laut.
"Alee... kenapa ikan itu pergi lagi?" tanya pemuda yang berteriak tadi.
"O.. mungkin dia takut melihat kamu. Mundur! Biar aku yang mencoba memanggilnya," Â kata pemuda lainnya seraya maju ke tepi laut.
Tidak berapa lama, setelah pemuda itu berteriak memanggilnya, Jinnande Teremombonga datang lagi. Namun, melihat wajah orang yang memanggilnya tidak sama dengan wajah tuannya, ia pun segera kembali ke tengah laut. Ketiga pemuda itu kesal melihat perilaku ikan itu. Mereka akhirnya berembuk dan menemukan satu cara untuk menaklukan ikan itu.
"Kamu Idho, beteriak memanggil ikan itu."
"Aku dan La Idhi  yang akan menombak ikan itu."
Rencana dilaksanakan. Idho berteriak memanggil ikan itu, dan dua pemuda lainnya bersiap-siap menombak ikan itu. Alhasil, mereka berhasil menangkap ikan itu. Ikan itu pun mati seketika. Â Mereka memotong daging ikan itu ke dalam tiga bagian. Saking besarnya ikan itu, maka masing-masing mendapat bagian satu pikulan. Kemudian mereka membawa pulang bagian mereka di rumah masing-masing. Sungguh senangnya hati keluarga mereka saat melihat daging ikan sebanyak itu. Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan ikan kesayangannya itu. Namun, apa yang terjadi? Sesampainya di tepi laut ia segera memanggil ikan itu.
"O... Jinnande Teremombonga ..."!
La Moelu menunggu cukup lama, namun ikan itu belum jua muncul. Berkali-kali ia beteriak, bahkan dengan suara yang lebih keras, tetapi ikan itu tak kunjung datang. Rasa cemas dan prihatin berkecamuk dalam hatinya.
 "Janggan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Jinnande Teremombonga" pikir La Moelu dalam hati.
"Ke mana perginya Jinnande Teremombonga? Biasanya, aku hanya sekali memanggil dia sudah datang. Tapi, kenapa kali ini berkali-kali aku panggil, dia belum juga muncul. Apa ada orang yang telah menangkapnya?" gumam La Moelu.
Hari menjelang sore, akhirnya La Moelu kembali ke rumahnya dengan perasaan galau dan sedih. Di perjalanan pulang, ia selalu memikirkan nasib ikan kesayangannya itu. Sesampainya di rumah, ia pun menceritakan hal itu kepada ayahnya. Namun, sang Ayah tak berdaya mendengar cerita La Moelu, kecuali menasihatinya.
"Sudahlah, Anakku! Mungkin ikan itu pergi mencari teman-temannya ke tengah samudera sana," ujar ayahnya.
Malam harinya, La Moelu berkunjung ke rumah salah seorang pemuda yang telah menangkap ikannya. Kebetulan, pemuda itu sedang makan malam bersama keluarganya. Tak sengaja, La Moelu melirik ke hidangan yang disajikan. Di situ terlihat suguhan daging ikan besar, tiba-tiba La Moelu teringat dengan Jinnande Teremombonga, ikan yang selalu diberinya makan setiap pagi di tepi laut.
"Wah, jangan-jangan ikan yang meeka makan itu Si Jinnande Teremombonga," pikirnya.
La Moelu pun menanyakan dari mana mereka mendapatkan daging  ikan besar itu. Setelah didesak, pemuda itu pun menceritakan keberadaan daging ikan besar itu.
"Tadi pagi, aku menangkapnya di tepi laut. Memang kenapa, hai anak Yatim? Apakah kamu juga mau menikmati kelezatan daging ikan ini?" tanya pemuda itu dengan nada mengejek.
Sungguh sedih tersayat sembilu hati La Moelu mendengar cerita pemuda itu. Dugaannya benar bahwa lauk yang mereka makan itu adalah daging Jinnande Teremombonga. Hati La Moelu bertambah pilu ketika pemuda itu menawarkan daging ikan itu kepadanya. Namun, yang diberikan kepadanya hanyalah daun pepaya. Meski diperlakukan demikian, La Moelu tidak marah dan dendam pada pemuda itu. Ketika hendak pulang ke rumahnya, La Moelu memungut tulang ikan yang dibuang oleh pemuda itu. Sesampainya di rumah, tulang ikan itu ditanam di depan  rumahnya agar dapat mengenang Jinnande Teremombonga, ikan kesayangannya.
Keesokan harinya La Moelu dikejutkan dengan sesuatu yang terjadi pada tulang ikan yang ditanam di depan rumahnya. Di atasnya tumbuh sebatang pohon. Anehnya, pohon itu berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Ia pun segera memberitahukan peristiwa aneh itu kepada ayahnya.
"Ayah, coba lihat pohon ajaib di depan rumah kita," ajak La Moelu.
Ayahnya pun segera keluar dari rumah sambil berjalan sempoyongan. Alangkah terkejutnya ketika si tua renta itu melihat pohon ajaib itu.
"Aleee....Anakku! Bagaimana pohon ajaib ini bisa tumbuh di sini?" tanya sang Ayah dengan heran.
La Moelu pun menceritakan semuanya hingga pohon ajaib itu tumbuh di depan rumah mereka. Ayahnya pun menyadari bahwa itu semua adalah berkat Tuhan Yang Mahakuasa yang dianugerahkan kepada meeka. Akhirnya, mereka membiarkan pohon itu tumbuh menjadi besar. Warga yang mengetahui keberadaan pohon ajaib itu silih berganti berdatangan ingin menyaksikannya.
Semakin hari, semakin besarlah pohon itu. La Moelu pun mulai menjual ranting, daun, bunga, dan buah. Uang hasil penjualannya ia tabung. Lama kelamaan La Moelu pun menjadi seorang yang kaya raya dan pemurah di kampungnya. Ia senantiasa berbagi dengan tetangga, bahkan warga miskin di kampungnya. Demikian pula, dengan tiga pemuda yang mencuranginya tidak luput dari bantuannya. Tak heran, jika semua warga di kampung itu sangat hormat dan syang kepada La Moelu. La Moelu pun hidup sejahtera dan bahagia bersama ayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H