Mohon tunggu...
Uka Whardhana
Uka Whardhana Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam

Seorang Insan pembelajar yang ingin berbagi rasa juga asa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengutuk: Kutukan Rakyat

7 Agustus 2020   09:43 Diperbarui: 7 Agustus 2020   10:29 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pasundanekspres.co

Mengutuk adalah perbuatan menyumpahi/melaknat yang dilakukan oleh seseorang yang hatinya sudah tersakiti dan terdzhalimi oleh orang yang sudah jahat padanya, sehingga untuk bisa mengobati rasa sakit dihatinya ia menginginkan orang tersebut mendapatkan balasan yang setimpal dari yang Kuasa sesuai dengan apa yang di ucapkannya.

Kutukan adalah sebuah keinginan yang mengekspresikan bentuk kesengsaraan atau kemalangan yang akan menimpa atau jatuh ke beberapa entitas lain (orang, tempat atau benda). Kutukan juga bisa disebut nasib sial, guna-guna atau rasa benci.

Itu agaknya kurang lebih definisi mengutuk dan kutukan.

Teringat, perihal mengutuk dan kutukan pastinya identik dengan kisah India Kuno itu sudah menjadi hal yang lazim, pasalnya dapat ditemukan di buku juga film yang menceritakan India Kuno yang tidak terlepas dari perbuatan itu. Contohnya seperti kisah Ramayhana, Mahabharata dan lain sebagainya.

Ternyata perbuatan seperti itu sampai saatini masih ada dan dilakukan oleh rakyat-rakyat yang merasa tertindas, namun dalam bentuk yang berbeda dari kisah India Kuno itu.

Rakyat kini terluka parah baik batin dan juga jasmani. Mengerang kelaparan, merasa tertindas dan terhinakan. Hatinya sakit di tipu dan di manfaatkan suaranya oleh orang-orang yang konon katanya mereka berpendidikan. Mengenakan jas rapih, mobil sport, rumah layaknya istana semua barang mewah.

Rakyat sengsara, pemimpinnya penuh harta. Inilah realitanya.

Rakyat tidak pernah lupa ketika mereka berpiadato di atas mimbar-mimbar kesombongan, menyampaikan banyak hal mengenai kesejahteraan negeri. Dengan penuh kharismatik, mimik wajah berakting dengan baiknya, bersilat lidah hingga rakyat tersimpuh luruh di hadapan bacotan yang kini sudah menjadi kebohongannya.

"Perubahan!!!" "Hidup Rakyat!!!" "Adil dan Makmur!!!", inilah ucap mereka di akhir pidato-pidato kesombongannya.

Tak berselang lama kemudian mereka di tangkap karena korupsi, rakyat merasa terpukul karena sudah di khianati oleh pemimpin mereka.

Sehingga untuk mengobati rasa sakitnya rakyat mengutuk setiap para pemimpin-pemimpin yang dzhalim terhadap negeri. Setelah selesai sembahyang rakyat mengangkat tangan berdoa meminta kepada yang kuasa untuk segera membasmi pemimpin-pemimpin yang rakus, tamak dan ingkar. Tidak ada pilihan lain selain mengutuk pemimpin yang merugikan negeri dan rakyat, demi keselamatan bersama.

Inilah kutukan rakyat yaitu doa-doa orang teraniaya yang tidak pernah sekalipun tidak dikobulkan oleh-Nya. Buktinya kini setiap kasus korupsi satu per satu terungkap, pemimpin yang mereka pilih di bawa ke meja hijau, kemudian mendekam di jeruji besi selama waktu yang ditentukan. Itulah kutukan rakyat. Pada akhirnya kutukan rakyat akan selalu ada sampai kapanpun untuk menghukum pemimpin dzhalim. Kutukan rakyat yaitu doa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun