Salah satu pelajaran yang paling saya ingat saat masih duduk di kelas satu Sekolah dasar (SD) adalah pelajaran menghitung. Angka-angka lebih dominan di kepala saya ketimbang huruf-huruf.
Hal ini mungkin juga dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang menempuh pendidikan sekolah dasar. Karena pada dasarnya di Indonesia, sistem pendidikan khususnya pendidikan formal tentu memiliki kesamaan karena diatur di tingkat pusat melalui kurikulum yang disepakati.
Berbeda jika kita kemudian mengintip pola pengajaran sekola dasar di jepang misalnya, menurut beberapa catatan yang saya baca (soalnya belum pernah ke jepang), bahwa pola pendidikan pada sekolah dasar di Jepang begitu mengutamakan "kebahagiaan" siswa, pendidikan seni dan olah raga dibuat dominan khususnya pada kelas 1-3, sementara pengajaran mengenai moral, tata cara hidup mandiri dan keseharian diajarkan secara lebih dominan dan menyenangkan tentunya.
Hal paling mendasar yang dapat dilihat dari kedua perbandingan model pendidikaa tersebut adalah betapa pada model yang pertama lebih menekankan pada sisi akademis, atau kognitif. Dan pada model kedua lebih kepada karakter, sikap/afektif namun tidak mengabaikan akademis.
Menurut salah seorang pakar psikologi positif, Prof. Noeng Muhadjir (dalam buku Analisis Psikologi Positif), sentral makna  dari "karakter" adalah kebaikan, perilaku terpuji, watak terpuji, dan adil. Tidak menzalimi orang lain dan diri sendiri, atau memiliki empathy altruistic(sifat rendah hati).
Sehingga ketika kita menjadikan karakter ini sebagai pondasi dalam memulai mendidik generasi, maka setidaknya iklim konflik horizontal yang akhir-akhir ini banyak kita rasakan tentu akan hilang atau setidaknya akan berkurang.
Pepatah klasik, "belajar di waktu muda bagaikan mengukir di atas batu, belajar di waktu tua bagaikan mengukir di atas air. Pepatah ini nampaknya begitu sangat dipahami oleh Negara kita, namun kita menjatuhkan prioritas pada pilihan yang mungkin kurang tepat.
Satu sisi yang jauh lebih penting dari pendidikan sekolah dasar adalah, pendidikan dalam keluarga. Saya pribadi dalam ingatan saya, yang paling teringat adalah larangan-larangan. Mungkin, bahkan sudah pasti masing-masing orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam ingatannya tentang pendidikan dalam keluarga dimasa kecilnya. Pertanyaannya, pendidikan keluarga itu seharusnya seperti apa?, tentu saya tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan ini, namun jika melihat berbagai pengalaman dan cerita orang-orang, sepertinya ada yang salah dalam sebagian besar cara mendidik atau pendidikan dalam keluarga selama ini.
Ketertinggalan etika dari kemajuan akademis, bukan berarti saya menganggap bahwa saat ini kita benar-benar maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan miskin etika. Namun yang saya maksud disini adalah proses yang berjalan selama ini, ada indikasi bahwa etika itu selalu di nomor duakan.
Bahkan etika saat ini cenderung lebih akrab dengan agama dan akademis cenderung lebih akrab dengan hal-hal  liberal. Lebih ekstrim lagi bahwa etika seolah-olah dianggap perilaku yang agamis saja (dengan segala atribut/simbol yang mencirikan sebuah agama/kepercayaan). Sementara akademis semakin mempererat hubungan dengan paham bercorak liberal.
Walaupun tidak sedikit kita liat kalangan akademisi yang menampilkan ciri keagamaan. Parahnya, tuduhan sekularisme, kadang menjadi argumen terakhir yang menjadi senjata pamungkas dalam menuduh ketidaksamaan dalam cara berbusana atau berpakaian.
Kesalahan terbesar yang terjadi sedikit banyaknya adalah akibat imbas dari sistem pendidikan sekolah dasar yang saya bahas di awal tulisan ini. Adalah kondisi yang seolah menjelaskan kebaikan dan ketidakbaikan dalam hal ini (permasalahn etika) yang pada akhirnya stagnan karena -seolah- hanya dapat di jelaskan oleh dalil-dalil firman Tuhan saja. Dalam kondisi ekstrem kebaikan (etika) yang coba dicapai melalui rasionalitas menjadi dosa-dosa tersendiri yang bagi pembencinya adalah layak mendapat konsekuensi neraka.
Sementara kemajuan akademis tak dapat dihindari disebabkan berbagai macam alasan yang jelas tak mungkin mampu menghalau masuknya pengaruh barat ke dalam negri ini. Sebuah peradaban yang setelah mengalami masa kegelapan cukup lama akhirnya bangkit dan menjadi wilayah maju yang orang-orangnnya menguasai dan mengendalikan hampir seluruh belahan dunia.
Termasuk di Indonesia, kemajuan akademis atau pengetahuan tidak dapat dibendung. Pengetahuan adalah buah dari akal, pengetahuan adalah hasil dari keaktifan akal. Sehingga majulah pengetahuan atau akademis seperti sekarang ini dengan begitu tajam meningkat terus menerus, kebutuhan akan pengetahuan menjadi alasan manusia menuntut ilmu di bangku-bangku sekolah.
Sementara etika tetap pada tempatnya. Karena dibatasi oleh pagar-pagar radikal yang setiap saat dapat menghancurkan gerakan-gerakan kecil jika terdapat kebaikan yang sedikit berbeda dari firman-firman yang terbaca oleh mata-mata yang awam.
Saya coba membayangkan jika seandainya pendidikan di sekolah dasar di masa lalu itu lebih mengutamakan dan menekankan pada pendidikan etika dibanding akademis, mungkin saat ini perdebatan kita bukan lagi perdebatan yang terjebak dalam ancaman ringsekularisme.
Namun perdebatan kita adalah perdebatan solutif yang pada akhirnya menjelaskan kebaikan dengan sendirinya, yang pada intinya mengatakan, "pilihan apapun yang kita pilih adalah kebaikan, maka tujuan kita berdialektika hanya untuk mempererat silaturahim semata. Tujuan debat kita bukan untuk saling meruntuhkan argument, tapi justru saling memperkaya dan memperkuat argument"
Pada akhirnya semua orang akan merindukan kebaikan, karena keburukan hanya akan menggelisahkan hati. Cepat atau lambat fitrah yang terdapat dalam diri setiap manusia akan melambung melampaui segala sikap negatif yang melemahkan kualitas manusia selama ini. Itu semua adalah bentuk keniscayaan menyempurna alam semesta yang dimana manusia berada di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H