Sayangnya kata "bajingan" tersebut belum juga keluar. Dia masih menunggu-nunggu. Situasi politik saat ini belum juga mereda. Saling menertawakan. Saling menampakkan kesalahan, itu semua masih terjadi.
"Padahal kita harusnya tau diri, bahwa Tuhanlah yang berhak menampakkan kesalahan seseorang," Saprol berkata dengan sangat pelan di antara perang kata-kata dua ekor, eh, manusia tadi.
Ternyata mereka mendengar ucapan Saprol, sehingga bertanya: "Apa, Prol?" Tapi Saprol tak menjawab dan melanjutkan menikmati hisapan demi hisapan rokoknya.
Walaupun harus bersabar menunggu "bajingan" keluar, tapi Saprol masih optimistis berharap akan adanya objektivitas di antara keduanya. Ini yang menjadi masalah besar. Tak adanya objektivitas itu bisa terjadi karena tak adanya penggunaan nalar, logika, sehingga baik benarnya sesuatu tak lagi bisa dinilai secara sama.
Suatu kesalahan bisa dibenarkan karena subjektivitas. Sebaliknya, suatu kebaikan bisa menjadi keburukan. Walaupun baik dan benarnya sesuatu itu masih dikatakan relatif, tapi secara umum penilaiannya masih sama bagi semua manusia.
Seketika pikiran Saprol berhenti. Pada malam itu dia tiba-tiba menangis. Terkesan sangat sedih. Gundul Kiwo dan Gobang keheranan sambil saling bertanya-tanya. Bukan, bukan karena subjektivitas tersebut membuntukan titik temu, melainkan karena sebuah lagu yang berbunyi:
Knife...
Cuts like a knife...
How will i ever heal...
Kedua manusia yang tadinya keheranan pun jadi ikut menangis. Dalam hati Saprol berkata sambil terus menangis: "Inilah objektivitas itu..."
Ada yang tahu lagunya, gaes? Alright, let's sing together! Let's cry together!